Oleh: Muhardi Juliansyah
Proyek Strategis Nasional (PSN) kini menyasar sebagian hutan di Merauke. Setelah membuka PSN di Hutan Kalimantan, kini pemerintah melalui Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian, membuka hutan dengan luas 1 juta Ha yang diperuntukan untuk cetak sawah. Jhonlin Group selaku penanggung jawab pekerjaan ini telah memesan 2 ribu alat berat untuk membuka area hutan Merauke.
SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 835 Tahun 2024, yang menyetujui pelepasan lahan seluas 13.540 hektare untuk pengembangan pangan dan energi yang berada di hutan lindung, hutan produksi tetap dan hutan produksi yang dapat dikonversi di ibu kota Provinsi Papua Selatan. Namun, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA) menemukan bahwa proyek ini belum melibatkan masyarakat adat dan organisasi lingkungan hidup sejak awal proses. Selain itu, proyek ini diduga belum memiliki dokumen lingkungan yang sah.
Rencana pemerintah membuka 1 juta hektare hutan adat di Merauke dengan mengerahkan 2.000 alat berat bukan hanya sebuah langkah yang gegabah, tetapi juga bencana sosial dan ekologis yang terang-terangan. Di balik embel-embel “Proyek Strategis Nasional” (PSN), kita menyaksikan keberanian yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan kepedulian terhadap lingkungan. Dengan dalih meningkatkan produksi pangan, pemerintah justru memperparah krisis ekologis dan mengabaikan prinsip-prinsip keberlanjutan yang seharusnya dijunjung tinggi.
Hutan adat di Merauke bukan sekadar wilayah fisik, melainkan ruang hidup bagi masyarakat adat yang telah mendiami kawasan tersebut selama berabad-abad. Hutan itu menyimpan nilai-nilai spiritual, budaya, dan ekologis yang tak ternilai harganya. Ketika tanah mereka dirampas tanpa musyawarah dan persetujuan, kita sedang menyaksikan pelanggaran hak asasi yang nyata. Hal ini dialami masyarakat Marga Gebze di Distrik Ilwayab yang tidak dilibatkan dalam proses PSN ini adalah bukti bahwa pemerintah dan perusahaan pelaksana, Jhonlin Group, lebih memilih memuluskan proyek daripada melindungi masyarakat adat yang seharusnya menjadi prioritas. Selain itu, PUSAKA menilai jika PSN Ini dilanjutkan, akan merusak dan menghilangkan kawasan hutan alam dan lahan gambut dalam skala luas, dan dapat meningkatkan krisis lingkungan
Penggunaan 2.000 alat berat untuk membuka hutan seluas ini hanya akan mempercepat kerusakan ekosistem yang kaya dan berharga. Merusak hutan lindung dan kawasan konservasi tradisional tanpa memperhatikan dampak jangka panjang terhadap iklim, keanekaragaman hayati, dan keseimbangan ekosistem adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab. Lebih ironis lagi, proyek ini justru berlangsung di tengah komitmen global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca—komitmen yang jelas tidak tercermin dalam kebijakan ini.
Kebijakan tersebut menandakan bahwa proyek sebesar ini dikejar tanpa memperhati prosedur yang benar, mengesampingkan kepentingan masyarakat lokal dan keberlanjutan lingkungan. Proyek cetak sawah di Merauke adalah simbol dari bagaimana ambisi ekonomi dan politik dapat membutakan para pengambil kebijakan terhadap dampak-dampak yang lebih besar. Penghancuran 1 juta hektare hutan adat untuk alasan yang tidak jelas manfaatnya akan menjadi warisan kehancuran sosial dan lingkungan. Pemerintah harus segera menghentikan proyek ini dan mulai belajar dari kesalahan, sebelum segalanya terlambat seperti kegagalan di banyak PSN (Food Estate, Kalimantan Tengah).