Oleh: Siti Muna & Muhardi Juliansyah – Peneliti SIAR
Deforestasi di Indonesia menunjukkan tren penurunan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir berdasarkan data KLHK per Januari 2024. Deforestasi neto Indonesia pada 2021-2022 sebesar 104 ribu Ha, yang dimana jumlah itu memperlihatkan penurunan jika dibandingkan dengan periode 2020-2021 yang mencapai 113,5 Ha. Berdasarkan data statistik Global Forest Watch (GFW) mengenai hilangnya hutan primer di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan statistik resmi Indonesia mengenai deforestasi. Data GFW menunjukkan, sejak 2001-2022 hutan primer di Indonesia mencapai angka kurang lebih 10.295.005 Ha, kehilangan hutan primer mulai turun sejak 2017 dan tahun-tahun berikutnya angkanya terus menurun yakni 2018 seluas 339,888 Ha, dan 2019 seluas 323.646 Ha. Peningkatan deforestasi di masa depan karena konversi lahan dan kegiatan industri.
Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk membuka lahan hutan secara masif untuk industri kelapa sawit telah menuai kritik. Presiden mengusulkan pembukaan lahan hutan sebesar 20 juta Ha, yang dianggap bertentangan dengan komitmen indonesia dalam menurunkan emisi karbon dan memerangi deforestasi serta degradasi lahan.
Pernyataan Presiden Prabowo menyebutkan lahan sawit tidak akan menyebabkan deforestasi adalah pernyataan yang keliru (Policy Strategist CERAH, Sartika Nur Shalati) karena tanaman sawit bersifat monokultur yang akan menghancurkan fungsi hutan sebagai ekosistem alami bagi keanekaragaman hayati, merusak tanah, dan sistem hidrologi.
Tak hanya itu, perluasan lahan sawit juga akan mengancam lahan gambut yang berkontribusi sebagai penyerap emisi karbon alami. Padahal, luas ekosistem gambut Indonesia mencapai 24,66 juta Ha, salah satu yang terluas di dunia.
Tanggapan terhadap rencana pembukaan lahan untuk industri kelapa sawit sangat beragam. Aktivis lingkungan dan masyarakat adat mengkhawatirkan bahwa rencana tersebut akan memperburuk deforestasi dan mengecam hak-hak mereka atas tanah. Mereka menekankan bahwa perluasan lahan sawit seringkali disertai konflik agraria dan merusak ekosistem. Di sisi lain para pihak yang terlibat langsung pada industri ini memberikan dukungan penuh akan rencana tersebut, menganggapnya sebagai peluang untuk meningkatkan produksi dan pendapatan. Namun, banyak yang menyerukan evaluasi terhadap lahan yang ada dan moratorium permanen untuk mencegah kerusakan lebih lanjut (Uli Arta Siagian, Walhi).
Penyuaraan terhadap rencana pembukaan lahan oleh presiden juga datang dari Dekan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada sekaligus Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI) Profesor Budi Setiadi Daryono yang menolak keras upaya penambahan perkebunan kelapa sawit yang akan mengancam kembalinya kerusakan hutan dan biodiversitas.
Selain itu, dilansir melalui mediaindonesia.com, Budi mengatakan selama ini dampak dari perkebunan sawit yang sangat luas dengan model monokultur ternyata rentan meningkatkan konflik satwa liar dengan manusia, sehingga berdampak berkurangnya populasi satwa liar yang dilindungi oleh UU seperti orang utan, gajah, badak, dan harimau Sumatra.
“Flora dan fauna yang dilindungi semakin berkurang karena deforestasi akibat pembukaan perkebunan sawit,” ujarnya. Presiden Prabowo juga sebaiknya menjalankan Instruksi Presiden No 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Dari Inpres tersebut, seluas 66,2 juta hektare hutan alam dan lahan gambut atau seluas negara Prancis dapat diselamatkan dari kerusakan,” katanya.
Guru Besar Fakultas Biologi UGM ini menegaskan pernyataan Prabowo soal penyamaan tanaman kelapa sawit dengan tanaman hutan menjadi pernyataan yang menyesatkan publik. Sebab, secara tegas sudah ada peraturan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang sebelumnya menyebutkan bahwa sawit bukan tanaman hutan (mediaindonesia.com).
Referensi
https://mediaindonesia.com/nusantara/733316/menyamakan-kelapa-sawit-dengan-hutan-dinilai-menyesatkan
https://www.bbc.com/indonesia/articles/c878ng8gdgpo
https://tric-indonesia.com/berita/svlk/laju-deforestasi-indonesia-turun-7503/