Global Climate Strike merupakan gerakan internasional yang digagas oleh aktivis lingkungan, yang tujuannya untuk menuntut aksi nyata terhadap perubahan iklim. Gerakan ini biasanya melibatkan unjuk rasa damai yang dilakukan serentak di berbagai negara, dengan partisipasi dari berbagai kalangan, terutama pelajar dan pemuda. Namun, di beberapa negara, aksi damai ini kerap mendapat hambatan berupa intimidasi atau kekerasan dari aparat penegak hukum.
Salah satunya yang terjadi di negara bagian “Asia Tenggara”. Bentuk intimidasi yang dilakukan oleh preman sewaan negara ini bisa beragam, mulai dari pembubaran paksa, penangkapan, merampas properti aksi hingga tindakan kekerasan. Pembubaran paksa adalah salah satu bentuk represi yang sering terjadi dalam aksi-aksi damai, termasuk Global Climate Strike. Aparat, dengan dalih menjaga ketertiban, kerap membubarkan aksi tanpa alasan yang jelas. Tindakan ini sering dilakukan meski para demonstran telah mengikuti aturan dan protokol yang ditetapkan. Intimidasi ini seringkali mencerminkan bagaimana kekuasaan negara, dalam beberapa kasus, lebih memihak pada kepentingan industri yang menyumbang kerusakan lingkungan, daripada melindungi hak warganya untuk berpendapat dan berpartisipasi dalam aksi damai untuk keadilan lingkungan.
Global Climate Strike adalah bagian dari gerakan Fridays for Future yang dipelopori oleh Greta Thunberg, seorang aktivis iklim muda asal Swedia. Setiap tahunnya, ribuan hingga jutaan orang di seluruh dunia berkumpul untuk menyuarakan keprihatinan mereka terhadap krisis iklim. Mereka mendesak pemerintah dan korporasi untuk mengurangi emisi karbon, menghentikan penggunaan bahan bakar fosil, serta mempercepat transisi ke energi terbarukan.
Aksi ini juga melibatkan banyak kelompok sosial dan lingkungan, mulai dari LSM, komunitas akademik, hingga masyarakat umum yang prihatin dengan masa depan planet kita. Dengan meningkatnya frekuensi bencana alam terkait iklim, seperti deforestasi, banjir, kebakaran hutan, dan gelombang panas, kesadaran akan pentingnya aksi ini terus meningkat.
Penangkapan aktivis lingkungan yang terlibat dalam aksi Global Climate Strike juga bukan hal yang asing. Penangkapan ini seringkali tidak disertai dengan alasan yang kuat dan hanya bertujuan untuk menakut-nakuti demonstran lainnya. Pada beberapa kasus, para aktivis juga ditahan tanpa proses hukum yang jelas, dan diintimidasi untuk menghentikan aksi mereka.
Selain penangkapan, kekerasan fisik dan psikologis seringkali terjadi dalam aksi damai ini. Aparat terkadang menggunakan kekuatan berlebihan untuk mengendalikan massa, yang sebenarnya tidak melakukan perlawanan. Tindakan seperti pemukulan, gas air mata, hingga penggunaan meriam air, menjadi pemandangan yang sering terlihat dalam aksi damai terkait iklim.
Tindakan intimidasi yang dilakukan aparat dan preman bayaran negara tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga berpotensi melemahkan semangat para demonstran. Namun, dalam banyak kasus, intimidasi ini justru membuat gerakan semakin kuat dan solid. Para aktivis iklim semakin terpacu untuk melawan ketidakadilan dan memperjuangkan hak mereka dalam menyuarakan krisis iklim.
Di beberapa negara, intimidasi justru memicu solidaritas internasional. Komunitas global memberikan dukungan moral dan bantuan kepada para demonstran yang mengalami represi, menunjukkan bahwa perjuangan untuk menyelamatkan planet ini adalah perjuangan bersama yang melampaui batas negara.
Aksi Global Climate Strike adalah salah satu bentuk perlawanan damai terhadap perubahan iklim, yang menyuarakan keprihatinan global tentang masa depan bumi. Namun, tantangan besar sering datang dari tindakan intimidasi dan represi aparat, yang mencoba meredam suara-suara yang mendesak perubahan. Meski demikian, semangat untuk melindungi lingkungan dan memperjuangkan keadilan iklim terus tumbuh, dan aksi-aksi ini menjadi simbol bahwa suara kolektif rakyat dapat membawa perubahan.