Oleh: Muhardi Juliansyah – Peneliti SIAR
“Program food estate dapat mengatasi permasalahan ketahanan pangan. Food estate merupakan konsep pertanian berskala luas lebih dari 25 hektar yang berintegrasi dengan iptek, modal, serta organisasi dan manajemen modern. Kehadiran program food estate sebagai upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan perlu mendapat perhatian dari pemerintah mengingat dampak yang ditimbulkannya.” (Prof. Muryani)
Food estate yang dicanangkan akan menjadi lumbung pangan nasional justru menjadi boomerang untuk indonesia, apalagi sektor lingkungan yang paling rentan akan program ini. Program yang berbentuk permasalahan ini sebenarnya bukan hal yang baru untuk Indonesia. Era Presiden Soeharto, program serupa dinamakan rice estate. Kemudian dihidupkan kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan saat ini digaungkan kembali Presiden Joko Widodo di periode kedua menjabat. Pemerintah merencanakan food estate guna memproduksi pangan skala luas yang dilakukan oleh negara dengan bantuan korporasi. Food estate sendiri merupakan proyek jangka menengah dan panjang yang dicoba di Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Sumatera Utara dengan luas total mencapai 195 ribu hektar.
Beberapa permasalahan muncul dalam proyek yang dianggap strategis ini, dimulai dari jalan panjang dalam penerapannya yang jelas bukan solusi tepat dan cepat dalam mengatasi permasalahan pangan. Berdasarkan paparan Kementerian Pertanian, food estate setidaknya dijalankan dalam delapan alur. Pertama, dimulai dari konsolidasi petani dalam kelompok tani/gabungan kelompok tani. Kedua, memfasilitasi sarana dan prasarana, serta pendukung lainnya. Ketiga, penyiapan infrastruktur tata air. Keempat, menempatkan petani sebagai anggota koperasi yang mengusahakan budidaya pertanian. Selanjutnya yang kelima, koperasi bersama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Desa (BUMdes) membentuk Perseroan Terbatas (PT) untuk mengelola Korporasi Petani. Keenam, bisnis Rice Milling Unit (RMU) desa terkonsolidasi dalam Korporasi Petani. Ketujuh, swasta sebagai mitra strategis bagi korporasi petani. Lalu yang kedelapan, korporasi petani memasarkan produk hasil pertanian.
Disisi lain berbagai proyek ini akan menjadi lawan berat untuk memenuhi target pengurangan emisi yang jelas tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) terbaru, dimana Indonesia menaikkan target pengurangan emisi menjadi 31,89% di tahun 2030. Sebab, potensi hutan alam yang hilang karena proyek itu hampir setara dengan tiga kali luas Pulau Bali. Food estate telah ditetapkan sebagai program prioritas pemulihan ekonomi dalam daftar Program Strategis Nasional (PSN) tahun 2020-2024 serta Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2021. Bahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan Peraturan Menteri No. 24 Tahun 2020 yang mengatur penyediaan kawasan hutan untuk proyek ini.
Berdasarkan Rencana Operasional Food Estate yang diterbitkan oleh KLHK (2020), luas alokasi (AOI) Food Estate di empat provinsi sebesar 3,69 juta hektar, hampir melebihi luas Provinsi Jawa Barat. AOI Food Estate terluas berada di Papua seluas 3,2 juta hektar, Kalimantan Tengah seluas 311 ribu hektare, Sumatera Utara 61 ribu hektare, dan terakhir di Sumatera Selatan dengan 32 ribu hektare. Hasil studi Yayasan Madani Berkelanjutan menunjukkan bahwa di dalam alokasi food estate itu terdapat hutan alam seluas lebih dari 1,57 juta hektar. Hampir 41 persen dari luas ini merupakan hutan alam primer yang seharusnya dijaga sesuai yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) tahun 2020-2024.
Selain hutan alam, sekitar 1,42 juta hektare ekosistem gambut juga tercakup dalam daerah alokasi food estate. Ekosistem gambut ini terdiri dari 582 ribu hektare gambut lindung dan 838 ribu hektar gambut budidaya. Dari jumlah ini, ekosistem gambut yang ber tutupan hutan alam mencapai 730 ribu hektare, juga secara tegas disebutkan dalam RPJMN tahun 2020-2024 sebagai development constraint yang harus dijaga.
Rencana pemerintah untuk membuka lahan eks-PLG untuk dijadikan lokasi cetak sawah baru memunculkan kekhawatiran akan terjadinya kebakaran berulang di lahan gambut yang berpotensi merugikan negara. Hasil analisis Pantau Gambut mengenai area terbakar (burned area) menunjukkan bahwa area eks-PLG masih menjadi langganan kebakaran setiap tahunnya. Pada tahun 2019, luasan areal terbakar di lahan eks-PLG mencapai 167 ribu hektar (ha). Kondisi ini berpotensi diperparah dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 24/2020 yang memperbolehkan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate.
Kajian kebijakan yang dikeluarkan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menemukan bahwa peraturan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang (UU) No. 41/1999 tentang Kehutanan yang telah mengatur secara terbatas pemanfaatan hutan lindung yaitu untuk pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Klausa Pasal 38 UU No. 41/1999 juga sudah jelas mengharuskan penetapan secara selektif untuk pembangunan di kawasan hutan lindung serta melarang kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan serius dan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan. Walaupun pada pasal 19 Permen LHK No. 24/2020 disebutkan bahwa kawasan hutan lindung yang dapat dimanfaatkan adalah yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, tetapi tidak ada penjelasan tentang proses penetapan hingga akhirnya hutan lindung tersebut sudah benar- benar tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya.
Isu produktivitas pertanian padi di lahan gambut juga menjadi perhatian serius. Pantau Gambut melakukan analisis komparasi nilai produktivitas padi di lahan gambut dan lahan mineral berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh akademisi untuk melihat sejauh mana tingkat produktivitas padi apabila ditanam di lahan gambut. Produktivitas padi merupakan hasil perbandingan antara jumlah produksi padi yang dihasilkan dengan luasan yang diusahakan (biasanya dinyatakan dalam kilogram/ha atau ton/ha).
Studi kasus untuk melihat nilai produktivitas padi di lahan gambut diambil dari hasil penelitian di Desa Blang Ramee Aceh Barat, Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi dan Kabupaten Katingan Kalimantan Tengah. Ketiga hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa nilai produktivitas padi di lahan gambut hanya berkisar antara 1,5 ton/ha – 2,9 ton/ha. Sementara itu, nilai produktivitas padi di lahan mineral diambil dari data dan penelitian di Desa Senduro Lumajang, Kecamatan Banyu Biru dan Kabupaten Badung Provinsi Bali. Rata-rata hasil dari penelitian yang dilakukan menunjukkan nilai produktivitas padi sebesar 6,2 ton/ha – 7,3 ton/ha.
Perbandingan tersebut memberikan kesimpulan bahwa usaha tani padi di atas lahan gambut memiliki nilai produktivitas yang rendah dibandingkan dengan usaha tani padi yang dilakukan di atas lahan mineral. Selain itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan beberapa kesimpulan terhadap program pengembangan kawasan sentra produksi pangan/food estate yang dijalankan Kementerian Pertanian (Kementan). Program tahun anggaran 2020 sampai dengan triwulan III 2021 dilaksanakan tidak sesuai dengan peraturan dalam semua hal yang material. Dia menjelaskan, BPK telah melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) atas Perencanaan, Pelaksanaan, dan Monitoring Evaluasi Program Pembangunan Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP)/Food Estate tahun anggaran 2020 sampai dengan triwulan III 2021 di Kementerian Pertanian serta instansi terkait lainnya. Hasil pemeriksaan BPK pun menemukan permasalahan signifikan.
Referensi
https://pantaugambut.id/storage/widget_multiple/kajian-food-estate-pg-SuX6Y.pdf
https://komitmeniklim.id/food-estate-ancam-target-pengurangan-emisi/
https://wartapemeriksa.bpk.go.id/?p=34033