Oleh: Comdev & RTD – SIAR
Keberlanjutan lahan basah mungkin menjadi salah satu tantangan dalam isi kepala kita. Bagaimana tidak, dalam kurun waktu 2000-2017 deforestasi menjadi-jadi menyasar 6,04 juta ha hutan lenyap tanpa sisa. Bahkan tutupan hutan Kalimantan terus berkurang, dari tahun 2000 mencapai 33,2 juta ha, tahun 2009 menjadi 28,3 juta ha, tahun 2013 menjadi 26,8 juta ha, dan tahun 2017 menjadi 24,8 juta ha (CIFOR).
Ramsar Convention (1971) mengidentifikasi bahwa lahan basah adalah kawasan yang terdiri dari rawa, lahan berlumpur, tanah berlapis gambut, atau wilayah berair lainnya. Kawasan ini bisa terbentuk secara alami atau dibuat oleh manusia, dan mungkin berisi air yang diam atau mengalir – dengan air bisa bersifat tawar, sedikit asin, atau asin. Termasuk di dalamnya adalah bagian-bagian laut dangkal, yang pada waktu air laut surut, kedalamannya tidak lebih dari enam meter.
Lahan basah menawarkan banyak jasa ekosistem bagi manusia, termasuk peningkatan kualitas air, mitigasi banjir, perlindungan pantai, dan perlindungan satwa liar. Banyaknya jasa ekosistem (sebagai penyeimbang ekosistem) membuat peran lahan basah menjadi sangat krusial apabila dikaitkan dengan krisis iklim yang terjadi. Terlebih salah satu fungsi lahan basah dapat menyerap dan menyimpan karbon secara alami.
Cadangan karbon yang tersimpan di lahan gambut dua kali lebih banyak dari hutan di seluruh dunia, dan empat kali dari yang ada di atmosfer. Lahan gambut tropis mampu menyimpan lebih dari 4.000 MgC/ha yang merupakan simpanan karbon paling kaya di bumi. Sedangkan lahan gambut Indonesia menyimpan sekitar 55 PgC atau lebih dari 60% dari cadangan gambut global (Murdiyarso et al., 2017)
Indonesia merupakan negara dengan lahan basah terluas kedua setelah Brazil. Data Global Wetlands menyebutkan Indonesia memiliki lahan basah seluas 37,68 juta Ha yang didalamnya termasuk lahan gambut seluas 22,45 juta Ha atau 59,25% lahan basah di Indonesia adalah gambut. Lebih dari 80% ekosistem gambut berstatus rusak; dengan status rusak ringan seluas 15,85 juta Ha (65,45%), rusak sedang 3,08 juta Ha (12,74%), rusak berat 1,05 juta Ha (4,35%) dan rusak sangat berat 206.935 Ha (0,85%), dengan luas total mencapai 24,66 juta Ha (Inventarisasi KLHK, 2022).
Luas Lahan Basah di Kalimantan Barat
Kalimantan Barat merupakan Provinsi yang memiliki lahan gambut terluas ke-4 di Indonesia. Luas lahan basah di Kalimantan Barat sebesar 3,14 juta Ha, sedangkan lahan gambutnya sebesar 1,79 juta Ha atau lebih dari 57% lahan basahnya adalah gambut. Sedangkan berdasarkan analisis yang dilakukan SIAR luas lahan gambut di Kalimantan Barat sebesar 940.125,81 Hektar atau 6,38% dari luas wilayah di Kalimantan Barat.

Lahan basah memberikan banyak jasa ekosistem bagi manusia, termasuk peningkatan kualitas air, mitigasi banjir, perlindungan pantai, dan perlindungan satwa liar. Pelbagai penyeimbang ekosistem membuat peran lahan basah menjadi sangat krusial apabila dikaitkan dengan krisis iklim yang terjadi. Terlebih salah satu fungsi lahan basah dapat menyerap dan menyimpan karbon secara alami. Sebuah studi menyebutkan hutan bakau dan lahan basah pesisir mampu menyerap karbon 10x lebih cepat dibandingkan hutan tropis dewasa. Sementara itu, hutan bakau dan lahan basah mampu menyimpan karbon 3-5x lebih besar dibandingkan hutan tropis.
Ancaman dan Kerusakan Lahan Gambut
Mengingat masifnya konversi lahan gambut menjadi Hutan Tanaman Industri dan Perkebunan Kelapa Sawit membutuhkan saluran drainase untuk mengeringkan gambut. Hal ini mengingat jenis atau komoditas yang dikembangkan, seperti Akasia (Acacia crassicarpa), Ekaliptus (Eucalyptus spp) dan juga kelapa sawit, bukanlah jenis tanaman asli lahan basah. Selama 30 tahun sekitar 12 juta ha gambut telah hilang, sebagian besar terjadi di Sumatera, Kalimantan dan Papua (Miettinen et al. 2011). Dikeringkannya lahan gambut melalui saluran kanal dimaksudkan agar jenis yang dikembangkan dapat tumbuh di lahan gambut. Namun sayang, pengeringan ini telah memicu berbagai dampak negatif seperti gambut kering rentan terbakar, subsiden, dan emisi Gas Rumah Kaca.
Secara konstan kondisi lahan basah mengalami peningkatan kerusakan setiap tahun. Menurut Global Mangrove Alliance, diperkirakan 67% mangrove telah mengalami kerusakan atau bahkan hilang, dan akan terus bertambah 1% setiap tahunnya, atau 3–5 kali lebih cepat dibandingkan hilangnya hutan secara global. Sepanjang 2000-2020 Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB melaporkan, Indonesia kehilangan 1,9 juta hektar hutan bakau antara tahun 2000 hingga 2020. Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa dalam satu dekade terakhir, deforestasi bakau sebagian besar terjadi di hutan bakau sekunder dengan laju 16.173 hektar. hektar per tahun atau total sekitar 161.725 hektar.
Apabila subsiden telah mencapai batasnya (drainability limit), lahan gambut akan sangat rentan terhadap banjir. Dalam kondisi ini, lahan gambut sudah tidak bisa dimanfaatkan untuk budidaya. Sebaliknya, akan diperlukan dana yang besar untuk upaya pemulihannya atau penanggulangan terhadap dampak dari banjir.
Hooijer et.al (2006) menyimpulkan, terdapat korelasi yang kuat antara emisi CO2 dan ketinggian muka air tanah sebagai akibat dari drainase. Setiap penurunan muka air tanah 1 (satu) cm di lahan gambut yang didrainase, berpotensi melepas 0,91 ton CO2-e/ha/thn. Dalam kajian lainnya, Freud Bauer (2014) menyatakan bahwa emisi GRK di lahan gambut bervariasi tergantung pada kedalaman drainase dan jenis tanamannya. Untuk hutan tanaman akasia dengan kedalaman drainase 60- 80 cm, emisi GRK yang dilepas berkisar antara 15 hingga 25 ton CO2-e/ha/thn. Sedangkan kebun kelapa sawit dengan kedalaman drainase yang sama akan melepas emisi GRK antara 12 hingga 18 ton CO2-e/ha/thn.
Intervensi Lahan Basah
Selama periode 1985-2000 sebanyak 20% atau rata-rata sebesar 1,3% per tahun hutan gambut alam ditebang dan/atau dikonversi untuk penggunaan lain seperti konsesi tanaman industri dan kelapa sawit sebesar 47.932 km² atau seluas 6190 kali luas lapangan sepak bola (Pantau Gambut).
Konversi lahan gambut tersebut mengakibatkan menurunnya ketahanan lingkungan. Konversi lahan yang terjadi menyebabkan lahan gambut tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Regulasi hukum tentang konversi lahan sudah banyak diatur dalam peraturan dan perundang-undangan, namun sejauh ini pelaksanaannya masih tidak sesuai dengan aturan yang telah dibuat. Kendalanya yaitu kurangnya koordinasi dan pelaksanaan kebijakan dalam konsistensi perencanaan yang telah dibuat (Irma dkk, 2018)
Potensi lahan basah di Kalimantan Barat
Bicara potensi lahan basah di atas kondisi menurunnya ketahanan lingkungan akibat konversi lahan dengan gila-gilaan agaknya terlalu rakus. Bukannya fokus pada upaya Reforestasi tetapi beberapa pihak melihat lahan basah sebagai potensi dan sumber yang dapat digunakan untuk berbagai kepentingan terlebih dengan berbagai regulasi hukum yang sangat jauh dari pelaksanaannya.