Oleh: Muhardi Juliansyah – Peneliti SIAR
KONFLIK AGRARIA atau konflik tentang tanah menjadi salah satu masalah utama di Kalimantan akibat terjadinya deforestasi dan direnggutnya wilayah kelola masyarakat menjadi industri ekstraktif. Tanpa mengutamakan hak asasi manusia maupun lingkungan, aktivitas dan okupasi yang dilakukan perusahaan bahkan pemerintah terhadap lahan-lahan berskala besar tak membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat kecuali konflik. Ekspansi perkebunan kelapa sawit yang masif mengakibatkan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan. Salah satu dampak sosial yang terjadi akibat ekspansi perkebunan sawit adalah konflik sosial.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan bahwa kasus konflik agraria di Indonesia meningkat 12% pada tahun 2023, mencapai 241 kasus letusan konflik pada tahun sebelumnya. Dalam laporan catatan akhir tahun 2023 KPA yang dirilis di Jakarta Selatan pada senin (15/1), KPA mengidentifikasi perkebunan sebagai sumber utama konflik, dengan bisnis sawit menjadi pemicu utama.
Pada Tahun 2023, 108 letusan konflik terjadi di area perkebunan, melibatkan luas tanah seluas 124, 545 hektar dan mengakibatkan dampak pada 37,553 kepala keluarga (KK). Ini menunjukkan peningkatan signifikan dari tahun sebelumnya yang hanya mencatat 99 letusan konflik agraria di sektor perkebunan. Hal ini disampaikan Sekjen KPA, Dewi Kartika
Di Kalimantan Barat yang didominasi oleh masyarakat adat, pelaksanaan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) tak jarang hanya sebagai formalitas. Padahal, FPIC wajib dilakukan di awal, sebagaimana ditulis Amnesty International. Menanyakan persetujuan masyarakat adat adalah syarat utama agar aktivitas dapat berjalan. Kalimantan Barat sebagai perkebunan kelapa sawit terbesar kedua setelah Provinsi Riau juga masih banyak memiliki konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit di dalamnya, Konflik agraria ini muncul akibat tumpang tindih lahan masyarakat komunal dan ulayat dengan perizinan yang dimiliki oleh perusahaan.
Berdasarkan investigasi lapangan yang dilakukan SIAR pada tahun 2023 di Kabupaten Sekadau, terdapat beberapa temuan terkait aspek lingkungan dan aspek sosial yang menjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Aspek lingkungan terdapat pencemaran sungai, keringnya sumber mata air, pendangkalan dan sedimentasi sungai, pembukaan lahan dengan cara membakar serta debu jalanan akibat aktivitas produksi dan pengangkutan CPO yang mempengaruhi lingkungan pemukiman masyarakat setempat. Dari aspek sosial, masalah utamanya adalah konflik penguasaan lahan antara masyarakat asli dan masuknya izin perusahaan yang mengakibatkan masyarakat tidak dapat memperoleh legalitas atas lahan yang dikelolanya sejak turun temurun. Disisi lain tidak adanya sosialisasi dari perusahaan kepada masyarakat di sekitar tentang proyek Biogas yang dibangun semakin mengaburkan tujuan proyek tersebut, manfaat, dan potensi dampak yang akan ditimbulkan kepada masyarakat setempat.
Akibatnya, konflik perebutan lahan atau status atas kepemilikan lahan tak pernah dapat dihindari. Konflik ini membenturkan masyarakat dengan perusahaan, bahkan tak jarang antar masyarakat dengan pemerintah juga. Seringkali bahkan jadi pemicu kriminalisasi kepada masyarakat, bentrok atau kerusuhan antar masyarakat dengan aparat dan perusahaan, sampai gugatan ke meja hijau.
Untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut, Perusahan harus bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh operasinya. Metode penyelesaian masalah dengan sanksi dan insentif harus dirubah dengan memulihkan kerusakan ekologis dan memastikan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat setempat serta pekerjanya. Ketidakmampuan perusahaan untuk mengoptimalkan lahan yang dikelolanya juga menandakan adanya masalah pokok agraria yang belum terselesaikan, sehingga evaluasi dan harmonisasi perizinan mutlak menjadi hal yang harus dilakukan oleh pemerintah, perusahaan dan stakeholder terkait lainnya.