Oleh: Muhardi Juliansyah – Peneliti SIAR
Hidup dikandung Adat, Mati dikandung Tanah
Sepekan terakhir, adanya informasi beredar mengenai masyarakat adat Pamaluan, Penajam Paser Utara, yang diusir dari tanah kelahirannya, di kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN). Mereka diberi waktu selama 7 hari untuk segera angkat kaki dari IKN. Kepala Otorita IKN, Bambang Susantono mengatakan, pemerintah sedang menyiapkan langkah penggusuran warga adat Pamaluan.
4 Maret 2024, Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) mengeluarkan Surat Nomor 179/DPP/OIKN/III/2024. Dalam surat itu juga diagendakan tindak lanjut atas bangunan yang diklaim tidak berizin dan tidak sesuai dengan tata ruang IKN.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan masyarakat adat suku Paser Balik sebelum wacana dibangun IKN dalam kondisi terancam punah. Jika mereka tergusur, artinya pemerintah sendiri yang memusnahkan eksistensi kehidupan masyarakat adat di sana.
“Kondisinya kritis, hampir punah. Bisa dibayangkan kalau mereka digusur artinya negara ikut berkontribusi atas kepunahan masyarakat adat, wacana penggusuran di kawasan itu sudah lama terjadi namun sering terjadi penolakan.” (Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN)
Diperkirakan sedikitnya 20.000 masyarakat adat akan menjadi korban proyek ibu kota negara(IKN) baru di Kalimantan Timur. Sekitar 20.000 masyarakat adat itu terbagi dalam 21 kelompok/komunitas adat, 19 kelompok di Penajam Paser Utara dan 2 di Kutai Kartanegara. Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Pengurus Besar AMAN, Muhammad Arman, menilai bahwa Undang-undang IKN yang disahkan secara kilat di DPR bakal menjadi alat legitimasi perampasan wilayah dan pemusnahan entitas masyarakat adat di sana. Pasalnya, dalam beleid itu, tidak ada klausul penghormatan dan perlindungan masyarakat adat yang terdampak proyek IKN.
Urgensi pengesahan RUU masyarakat adat
Pemerintah Indonesia merupakan salah satu dari 144 negara yang mendukung pengesahan deklarasi tersebut di Sidang Umum PBB pada 13 September 2007. Akan tetapi sudah hampir 13 tahun sejak UNDRIP disahkan, Indonesia belum juga memiliki UU Masyarakat Adat. RUU Masyarakat Adat saat ini masuk di dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegas) DPR Tahun 2020. Sejak tahun 2013, berkali-kali RUU tersebut keluar masuk Daftar Prolegnas DPR RI.
Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat melihat saat ini Indonesia, dengan selesainya pandemi covid-19, kini masyarakat adat dihadapkan dengan beberapa situasi yang mengancam kelangsungan tempat tinggal mereka. menghadapi krisis yang struktural pada hampir keseluruhan aspek kehidupan manusia. Situasi krisis inilah seharusnya menjadi pertimbangan Pemerintah dalam mengesahkan kebijakan berdasar pada Hak Asasi Manusia dan Lingkungan.
Untuk apa para pejabat seringkali memakai pakaian adat saat sidang tahunan MPR? Sedangkan puluhan juta warga masyarakat hukum adat (MHA) di Indonesia menghadapi masalah ketidakpastian hak atas wilayah adatnya, terutama mereka yang tinggal di wilayah-wilayah yang ditunjuk dan/atau ditetapkan pemerintah sebagai kawasan hutan.
Di tengah kebijakan sumber daya alam yang eksploitatif, Masyarakat Adat di Indonesia membuktikan mampu menjaga dan melestarikan hutan seluas 574.119 hektar. Yosi Amelia, Project Officer KLIMA Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan bahwa:
“Masyarakat Adat memiliki peranan penting dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia. Praktik-praktik arif masyarakat adat dalam menjaga hutan adat terbukti mampu menjaga hutan tetap lestari.”
Dalam konteks perubahan iklim, praktik-praktik menjaga hutan yang dilakukan Masyarakat Adat terbukti mampu menghentikan penurunan tutupan hutan dan dapat berkontribusi hingga 34,6% terhadap pemenuhan target NDC Indonesia dari pengurangan deforestasi. “Kerja bersama berbagai pemangku kepentingan dalam penyelamatan hutan di wilayah adat sangat penting dilakukan untuk memastikan pelaksanaan komitmen pemerintah Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% dan 41% dengan bantuan internasional dapat terlaksana”, tambah Yosi.
Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI menegaskan bahwa “berbagai krisis yang terjadi sama sekali tidak membuat negara ini berubah. Investasi dibiarkan terus merusak Alam. Negara dan korporasi jadi aktor utamanya. Situasi saat ini malah dimanfaatkan korporasi perusak lingkungan untuk menggusur masyarakat adat, merampas bahkan membunuh pejuang agraria dan lingkungan hidup yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya dan keberlanjutan alam.”
Berdasarkan data BRWA, sampai Agustus 2020 ini telah terdaftar 863 peta wilayah adat dengan luas mencapai 11,09 juta hektar. Dari jumlah tersebut telah ada penetapan pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat seluas 1,5 juta hektar melalui peraturan daerah dan surat keputusan kepala daerah.
Menurut Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) “Konstitusi kita telah mengakui keberadaan Masyarakat Adat di Indonesia, namun Pemerintah sampai saat ini tidak memiliki sistem administrasi Masyarakat Adat.”
Ketiadaan sistem administrasi Masyarakat Adat menimbulkan ketidakjelasan integrasi Peta Tematik Wilayah Adat dalam Kebijakan Satu Peta. Pemerintah Daerah telah menetapkan keberadaan Masyarakat Adat, namun peta-peta Wilayah Adat tidak dapat diintegrasikan dalam geoportal Kebijakan Satu Peta karena tidak ada wali data peta tersebut di Kementerian dan Lembaga pemerintah.
“Ketiadaan sistem administrasi Masyarakat Adat mengakibatkan Masyarakat Adat, Wilayah Adat dan kearifan lokalnya tidak menjadi rujukan dalam keseluruhan sistem pengaturan tenurial dan perencanaan pembangunan. Akibatnya, Masyarakat Adat selalu dan akan menjadi korban pembangunan dan tidak terlindungi hak- haknya”. (Kasmita Widodo)
Krisis agraria yang sistemik dan kronis akibat investasi bercorak kapitalistik terus-menerus melestarikan konflik agraria dan tenurial di tengah Masyarakat Adat. Merujuk data AMAN, pada tahun 2019 terdapat 125 komunitas adat yang menjadi korban konflik sumberdaya dan tersebar di hampir sepertiga wilayah Indonesia. Sementara HuMa memperlihatkan bahwa di tahun 2018 merebak ratusan konflik sumberdaya alam yang melibatkan areal lahan seluas 2,1 juta hektar. Sedikitnya 176.637 warga adat menjadi korban atas konflik tersebut.
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengingatkan, “Bisnis-bisnis berbasis agraria itu telah berjaya di atas penyingkiran wilayah adat. Parahnya, investasi bercorak kapitalistik yang masuk memiliki pandangan bahwa masyarakat adat memiliki sistem ekonomi yang terbelakang, belum maju secara ekonomi modern. Sementara indeks kebahagiaan (wellbeing) Masyarakat Adat jauh lebih tinggi alias bahagia lahir batin.”
Rencana investasi yang tak dibarengi dengan perlindungan atas Hak-Hak Masyarakat Adat akan diikuti dengan konflik. Hal tersebut berdampak pada adanya ketidakpastian usaha dan tambahan biaya-biaya yang dikeluarkan investor untuk merespon konflik yang terjadi.
Dewi menegaskan “investasi di wilayah adat adalah investasi dari masyarakat adat dan untuk masyarakat adat sendiri dalam rangka memajukan kemandirian berdasarkan perlindungan dan pengakuan wilayahnya. Dengan begitu kerjasama investasi dengan dunia usaha perlu mengedepankan suara dan kepentingan Masyarakat Adat”
Ketiadaan UU sebagai payung hukum perlindungan dan pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat juga membuka ruang ‘remang-remang’ untuk tumbuhnya korupsi investasi di aspek sumberdaya alam. Kerugian negara diperkirakan dari ratusan hingga triliun rupiah dari investasi berbasiskan sumber daya alam. Dari hasil Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang Hak Masyarakat Adat di Kawasan Hutan (2014) memperlihatkan dari 40 kasus yang diinkuirikan terdapat investasi yang beroperasi illegal.
Laode M. Syarif Ph.D, Direktur Eksekutif KEMITRAAN menegaskan bahwa “Salah satu penyebab rusaknya tatanan berbangsa dan bernegara di Indonesia adalah maraknya praktik korupsi. Korupsi sangat kejam karena merenggut hak setiap warga negara dan merusak sendi-sendi utama negara yang demokratis.”
Tata Kelola kebijakan di aspek sumber daya alam harus dibangun melalui proses yang transparan dan mengutamakan nilai-nilai anti-korupsi, agar memberikan kepastian dan kemaslahatan bagi masyarakat umum. “Oleh karena itu, momentum pengesahan RUU Masyarakat Adat diharapkan dapat meningkatkan kualitas tata kelola sumber daya alam di Indonesia dan dapat mencegah praktik- praktik korupsi yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan sumber daya alam” tegas Laode.
Pengesahan RUU Masyarakat Adat memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan adat baik di ranah Negara maupun di ranah Masyarakat Adat. Tradisi masih saja digunakan menjadi pembenaran atas perlakuan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan adat. RUU Masyarakat Adat perlu diletakkan sebagai landasan hukum yang mengikat Negara, Investasi dan Masyarakat Adat untuk memastikan interaksi dan praktik antar ketiganya serta di dalam masyarakat adat itu sendiri didasarkan pada Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan.
Negara c.q. Pemerintah dan DPR perlu melihat lebih jauh dalam menyelesaikan persoalan krisis yang dihadapi masyarakat Indonesia. Penting bagi Negara untuk memposisikan diri sebagai penegak konstitusi masyarakat adat. Pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan saja perkara Negara melindungi dan memenuhi Hak-Hak Masyarakat Adat. Lebih daripada itu, pengesahan RUU Masyarakat Adat merupakan bagian dari menyelamatkan rakyat Indonesia.
Karena itu Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak supaya Pemerintah dan DPR menjalankan keseluruhan mandat konstitusi masyarakat adat di atas dijalankan secara sistemik dan nasional, maka Negara wajib menyadari urgensi RUU Masyarakat Adat untuk segera disahkan.
Referensi
Cahyono, Eko et al. Konflik Agraria Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Jakarta. 2016.
Kontras-desak-otorita-ikn-penuhi-hak-hak-masyarakat-sekitar
https://www.komnasham.go.id/files/20160528-konflik-agraria-masyarak-adat-$E705F0M.pdf