Oleh: Elita Kurniadin – Mahasiswi MBKM UNTAN
“Tidak memprioritaskan penyelesaian masalah agraria, menyebabkan konflik terus terakumulasi dan memunculkan letusan konflik baru. Perlu ada perubahan komprehensif dalam tata cara penerbitan izin, perlu evaluasi menyeluruh (Dewi Kartika, Sekjen KPA).”
Konflik agraria adalah konflik yang berhubungan dengan urusan pertanahan. Konflik agraria merupakan konflik yang timbul sebagai akibat dari adanya ketidakserasian/kesengajaan terkait sumber-sumber agraria berupa Sumber Daya Alam (SDA). Salah satu penyebab konflik agraria adalah penguasaan dan perebutan sumber daya alam. Secara umum, konflik agraria melibatkan banyak aspek dan banyak regulasi,sehingga konflik agraria merupakan konflik yang kompleks. Konflik agraria mencerminkan keadaan tidak terpenuhinya rasa keadilan bagi kelompok masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari tanah dan kekayaan alam lain, seperti kaum tani, nelayan, dan masyarakat adat. Bagi mereka, penguasaan atas tanah adalah syarat keselamatan dan keberlanjutan hidup. Namun, gara-gara konflik agraria, syarat keberlanjutan hidup itu porak-poranda.
Sumber daya alam diposisikan sebagai basis industri komoditas yang “lucrative crops” seperti perkebunan dan pertambangan yang dianggap sebagai jalan keluar untuk mengeluarkan masyarakat dari kemiskinan karena industri perkebunan dianggap memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan mampu menyerap banyak tenaga kerja (Colchestester, dkk., 2006:11- 29; Tadjoeddin, 2007: 11). Di sisi yang lain, pola-pola industri ini bersifat destruktif karena pengelolaan yang buruk justru memunculkan masalah baru yang saling berkelindan seperti hilangnya hak atas tanah dan pendapatan, kerusakan lingkungan, dan marginalisasi masyarakat lokal memunculkan konflik yang melibatkan korporasi dan masyarakat (Tadjoeddin, 2007: 29).
Selain itu, tanah merupakan sumber daya strategis yang penting karena menyangkut kebutuhan dasar hidup seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bersama, masalah pertanahan merupakan masalah yang penuh dengan berbagai kepentingan, baik masalah ekonomi, sosial, maupun politik, bahkan bagi Indonesia tanah juga memiliki nilai religius dan tidak dapat diukur secara ekonomis. Sifat tanah juga konstan dan semakin banyaknya orang yang membutuhkannya, meningkatkan nilai tanah tersebut. Sementara itu, pentingnya lokasi tanah membuat penguasaan, pemilikan, penggunaan,dan pemanfaatan tanah sering menimbulkan konflik antar anggota masyarakat (konflik horizontal) dan konflik antara masyarakat dengan negara yaitu, pemerintah (konflik vertical).
Peningkatan konflik sepanjang tahun 2022, meningkatnya kasus konflik agraria terlampir dalam catatan akhir tahun 2022 oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) (9/1/2023). Catatan akhir tahun ini menyoroti tentang konflik agraria yang dialami masyarakat, khususnya petani kecil hingga berbagai langkah yang telah dilakukan pemerintah sepanjang 2022. Berdasarkan catatan KPA, sebanyak 212 konflik agraria terjadi sepanjang 2022 atau meningkat 4 kasus dibandingkan tahun 2021 dengan jumlah 207 konflik. Kasus konflik agraria tertinggi berasal dari sektor perkebunan (99), infrastruktur (32), properti (26), pertambangan (21), kehutanan (20), fasilitas militer (6), pertanian/agribisnis (4), serta pesisir dan pulau-pulau kecil (4).
Sedangkan jika dilihat dari wilayah terjadinya kasus agraria, terdapat 5 provinsi dengan konflik agraria tertinggi adalah Jawa Barat (25), Sumatera Utara (22), Jawa Timur (13), Kalimantan Barat (13), dan Sulawesi Selatan (12). Sumatera Utara juga menjadi wilayah dengan konflik agraria terluas mencapai 215.404 hektar. Meski tidak signifikan dari sisi jumlah, konflik agraria sepanjang 2022 menyebabkan peningkatan drastis dari sisi luasan wilayah terdampak.Luas konflik agraria tahun 2022 yang terjadi di 33 provinsi ini mencapai 1,03 juta hektar dan berdampak terhadap lebih dari 346.000 keluarga. Sementara itu konflik agraria pada 2021 mencakup luas 500.000 hektar.
Konflik agraria bisa terjadi di mana saja tidak hanya di Indonesia, namun juga di negara-negara lainnya. Umumnya konflik ini melibatkan banyak pihak serta banyak aturan yang kompleks. Kasus sengketa lahan dan perebutan lahan sebenarnya sudah terjadi di Indonesia sejak masa lampau. Kasus konflik agraria muncul karena adanya perselisihan atau perbedaan keputusan oleh dua pihak atau lebih yang terlibat dalam pengurusan tanah. Penyebab terjadinya konflik di bidang pertanahan di indonesia dapat dilihat sebagai berikut:
Kepemilikan Lahan seringkali melahirkan klaim dan perdebatan yang bertentangan atas kepemilikan lahan antara masyarakat lokal, petani, dan pihak lain seperti korporasi besar atau pemerintah, sering menjadi pemicu konflik agraria. Konflik Agraria Perampasan Tanah Rakyat Oleh PTPN II Atas Lahan Adat Masyarakat (Studi Kasus Desa Launch, Simalingkar A, Kecamatan Pancur Batu, Langkat). Penelitian Konflik agraria antara PTPN II dengan masyarakat terjadi disebabkan karena peralihan hak guna lahan yang awalnya dimiliki oleh masyarakat, kini diambil alih hak guna lahan oleh pihak PTPN II. Peralihan hak guna lahan ini menyebabkan konflik disebabkan karena pada awalnya tanah adat milik masyarakat itu dimiliki oleh masyarakat Desa Launch. Akan tetapi ketika zaman kolonial Belanda, diambil alih oleh pihak VOC. Lalu pada 27 Februari 1942, ketika Belanda diusir oleh Jepang maka hak guna lahan aset milik VOC seharusnya kembali menjadi milik masyarakat Desa Launch. Akan tetapi, malah sebaliknya. Aset tersebut malah menjadi milik pemerintah sehingga menyebabkan kerancuan akan hak guna lahan sebelum terjadinya peralihan hak guna lahan pada tahun 2017. Inilah salah satu faktor penyebab kenapa peralihan hak guna lahan di Desa Launch menjadi konflik agraria antara PTPN II dengan masyarakat Desa Launch.
Alih Fungsi Lahan perubahan penggunaan lahan dari pertanian menjadi tujuan industri atau pembangunan lainnya dapat memicu pertentangan antara kebutuhan pertanian dan kepentingan ekonomi atau pembangunan. Konflik Agraria Dalam Pengelolaan Tanah Perkebunan Pada PT HEVEA Indonesia (PT HEVINDO) Dengan Masyarakat Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor). Konflik yang terjadi antara masyarakat Kecamatan Nanggung dengan PT Hevindo disebabkan karena keterbatasan jumlah lahan milik, sementara kebutuhan masyarakat semakin meningkat, baik fungsi maupun manfaat lahan tersebut bagi masyarakat. Sejak tahun 1993, lahan HGU PT Hevea Indonesia (Hevindo) ini tidak digarap sebagaimana mestinya sesuai peruntukannya. Hingga tahun 1997 hampir sekitar 75% lahan HGU tersebut tidak digarap secara produktif oleh PT Hevindo. Bahkan di dalam areal HGU tersebut beroperasi kegiatan pertambangan galian-C, beberapa peternakan ayam, serta rumah-rumah tinggal di daerah tersebut.
Dengan kenyataan penelantaran lahan tersebut, maka sejak tahun 1997 secara bertahap sekitar 700 kk warga tiga desa tersebut mulai menggarap dan mengelola lahan tersebut secara produktif dengan cara menanami tanaman pangan, buah-buahan dan tanaman besar yang menghasilkan kayu. Konflik yang terjadi merupakan bentuk perlawanan dari masyarakat, baik yang bermotif ekonomi maupun non-ekonomi. Perlawanan dengan motif ekonomi tampak pada pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat, seperti menanam singkong, talas, pisang dan sayuran meski tidak diizinkan pihak perusahaan. Perlawanan juga bersumber dari kebutuhan akan ruang kelola (kebutuhan atas lahan pertanian) oleh masyarakat, hal ini disebabkan karena tingkat kepemilikan lahan masyarakat di desa pada umumnya kecil. Sedangkan perlawanan yang bermotif non-ekonomi bersumber dari upaya masyarakat untuk mengungkap ketidakadilan sosial yang telah dilakukan perusahaan terhadap masyarakat yang puluhan tahun hidup di wilayah enclave (wilayah kantung).
Kebijakan Pemerintah terkait reforma agraria, regulasi lahan, atau kebijakan pertanian yang tidak memperhitungkan kebutuhan serta kepentingan masyarakat lokal dapat menciptakan ketegangan dan konflik. Implikasi kebijakan reforma agraria terhadap ketidaksetaraan kepemilikan tanah melalui lensa hak asasi manusia. Kebijakan Terkait Reforma agraria telah diadakan terlebih dahulu sebelum masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, akan tetapi dalam pelaksanaannya belum maksimal sehingga Presiden Joko Widodo mencantumkan kembali reforma agraria dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019 yang berkomitmen guna memberikan penguasaan atas tanah kepada masyarakat yang secara khusus bagi petani dengan melalui program legalisasi aset dan redistribusi tanah (Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 2016).
Kini reforma agraria turut diikutsertakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 yang termuat dalam bab 3 RPJMN 2020-2024 dengan tujuan mengantisipasi adanya dampak dari pandemi Covid-19, serta guna menitikberatkan pada penyelesaian persoalan-persoalan dalam bidang agraria dan mengurangi ketimpangan penguasaan atas tanah (Setiawan, 2020). Hingga saat ini, ketentuan dalam Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria masih tetap berlaku dan sebagai acuan dalam penyelesaian konflik-konflik dan sengketa agraria, dimana segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibentuk berkaitan dengan reforma agraria diharuskan untuk tunduk terhadap Ketetapan MPR RI tersebut (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2021).
Akan tetapi, Bambang Soesatyo berpendapat bahwa meskipun Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tetap diberlakukan hingga sekarang ini, hingga tahun 2019 masih belum terlaksananya amanat reforma agraria, dimana Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai pertanahan yang telah disusun pada 2019 tidak berhasil disahkan sebagai Undang-Undang (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2021). Pada saat ini, sebagai bentuk pelaksanaan reforma agraria guna mempercepat berlangsungnya kebijakan Reforma Agraria dan penyelesaian konflik agraria dibentuknya Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang berlandaskan dari Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria (Heriani, 2022).
Kehilangan Hak Tradisional yang menarik perhatian hak tradisional masyarakat atas tanah dan sumber daya alam, terutama tanpa konsultasi atau partisipasi mereka, dapat menjadi pemicu utama konflik agraria. Pelanggaran hak asasi terhadap kelompok masyarakat adat dalam konflik agraria dan peranan pemerintah dalam penyelesaiannya. Masyarakat adat hidup secara tradisional dengan lingkungan budaya sosial dan termasuk di dalamnya lingkungan alam yang di jaga dan di kelola oleh masyarakat adat tersebut. Tetapi yang sering kali ditemukan adalah adanya kebijakan bahwa negara atau pemerintah memiliki kewajiban berupa mengatur kebijakan atas pengelolaan sumber daya amat selama ini menyebabkan sumber daya alam khususnya tanah dan hutan sebagai aset pembangunan nasional di eksploitasi secara berlebihan dan lebih diutamakan kepada kepentingan pemodal dan golongan-golongan tertentu yang dekat dengan kekuasaan tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat adat setempat, sehingga menyebabkan terjadinya proses peminggiran, pemarjinalan kelompok adat yang menyebabkan kemakmuran dan keamanan hidup mereka terganggu (Hidayat, 2000).
Fakta bahwa masyarakat adat seringkali menjadi korban dari kejahatan yang dilanggar hak asasinya yang seiring waktu juga mengancam eksistensi dari masyarakat adat itu sendiri karena terhadap masyarakat adat ini sering terjadi penjarahan sumber daya alam dan pengalih fungsian hutan yang pada akhirnya menggangu keberlangsungan dan kepentingan dasar dari masyarakat adat ini sendiri.
Seperti halnya yang terjadi di masyarakat Hukum adat Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalteng tahun 2014, masyarakat kelompok masyarakat adat setempat melakukan penolakan kepada PT. Sawit Mandiri Lestari, dimana PT. SML tersebut melakukan Land Clearing yang masuk ke wilayah Desa Kinipan, salah satu alasan masyarakat adat Kinipan melakukan penolakan tersebut karena masyarakat adat Kinipan ingin mempertahankan tanah warisan leluhur mereka. Lalu melihat perjuangan masyarakat adat Kinipan ini yang mendapat tekanan dan persekusi dari aparat, bahkan banyak dari masyarakat Kinipan yag di tangkap. Pemerintah Desa Kinipan juga ikut bersama masyarakat adat Kinipan untuk mempertahankan wilayah dan tanah adatnya dengan memberikan suatu keputusan dari Pemdes yakni Keputusan Kepala Desa Kinipan dengan Nomor. 18/III/KPTS/2015 yang berisi tentang Pemetaan Wilayah Hukum Masyarakat Adat Kinipan pada Tahun 2015. tentang Tim Pemetaan Wilayah Adat Kinipan pada tahun 2015. Lain hal pada Maret 2017, Masyarakat adat Kinipan melakukan upaya lanjutan dengan mendaftar ke Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) yang hasilnya adalah menetapkan bahwa Laman Kinipan layak untuk menjadi wilayah adat. Hingga sampai saat ini bersama aktivis lingkungan dan HAM masyarakat Kinipan masih terus melakukan perjuangan untuk hak-hak asasi mereka (Busyrol Fuad, 2020).
Dualisme kewenangan (pusat-daerah) tentang urusan pertanahan serta ketidakjelasan mengenai kedudukan hak ulayat dan masyarakat hukum adat dalam sistem perundang-undangan agraria. Tanpa ada pembaruan Undang-undang sebagai landasan hukum agraria maka konflik tanah akan tetap ada. Karena sebagaimana diungkapkan Mochammad Tauhid (1952), “agraria tak lepas dari persoalan tanah dan persoalan hidup dan sumber penghidupan manusia, Perebutan tanah berarti perebutan sumber makanan, perebutan sumber penghidupan bagi manusia. Untuk itu, orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan hidup selanjutnya. Itulah yang sebenarnya mendasari konflik agraria di Indonesia ketika tanah-tanah yang luas dikuasai oleh individu atau perusahaan besar, sementara itu jutaan petani kecil tidak memiliki tanah atau lahan.
Kasus agraria sudah banyak terjadi dimana-mana, dengan modus yang berbeda-beda.Ujung-ujungnya konflik dan saling klaim mengenai tanah. Dari banyaknya contoh-contoh kasus yang pernah terjadi dapat menyadarkan kita bahwa tanah memang sarana yang amat penting dalam pembangunan dan bagi kehidupan manusia. Dari aspek ekonomi, tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan dan aset (industri, pertanian, komersial). Dari aspek politik, tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam keputusan bagi masyarakat. Adapun dari aspek sosial budaya, tanah dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Terakhir, dari sisi hukum,tanah merupakan dasar kekuatan untuk kekuasaan.
Meski berbagai aspek penting tanah sering kali menimbulkan konflik di masyarakat, yang ditandai dengan terjadinya konflik agraria, yaitu perselisihan antara orang perorangan, kelompok, organisasi, badan hukum,atau lembaga, yang berdampak luas secara sosio-politik. Perselisihan pertanahan penyelesaian dilaksanakan lembaga peradilan atau putusan Lembaga peradilan (Peraturan kepala BPN RI Nomor 3 jo Peraturan Kepala BPN RI Nomor 11 Tahun 2016 tentang pengelolaan,pengkajian,dan penanganan kasus pertahanan). Konflik agraria pun kerap menimbulkan tindak kekerasan.
“Konflik agraria yang terjadi mengakibatkan banyak kerugian, salah satunya masyarakat adat adalah pihak paling rentan. Kasus agraria menjadi isu besar di Komnas HAM. Sepanjang tahun 2022, Komnas HAM mencatat ada sekitar 1200-an kasus agraria. Dari Januari hingga Oktober 2023, sudah ada 700-an aduan ke Komnas HAM. Ketika terjadi konflik agraria, lagi-lagi yang menjadi korban adalah masyarakat adat. Bahkan, Komnas HAM telah mengeluarkan 23 surat perlindungan agar tidak dikriminalisasi. Dari jumlah itu, 18 di antaranya untuk masyarakat adat. Ini artinya bahwa masyarakat adat adalah pihak yang paling rentan ketika terjadi konflik agraria. Dari data konflik agraria yang terjadi dalam delapan bulan terakhir, Komnas HAM menyimpulkan adanya eskalasi masif konflik agraria di berbagai lokasi di Indonesia yang mencapai 692 kasus, setara dengan 4 kasus per hari yang dilaporkan ke Komnas HAM (Hari Kurniawan, Komisioner Pengaduan Komnas HAM).”
Konflik agraria timbul akibat adanya ketimpangan kepemilikan dan penguasaan serta pengelolaan sumber-sumber agraria (ketimpangan struktur agraria). Konflik ini ditandai dengan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah dalam penguasaan dan kegunaan tanah serta pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang disebabkan adanya benturan-benturan antara pihak yang hendak menguasai tanah dan pihak yang mempunyai hak dan kepentingan atas tanah.Selain itu juga dipengaruhi peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang tumpang-tindih. Dalam konflik juga terjadi penyalahgunaan tanah dan pengelolaan SDA dengan tidak menghormati keberagaman hukum hak tenurial masyarakat. Terakhir dalam konflik agraria seringkali terjadi pelanggaran HAM yang menyasar masyarakat.
Referensi
- https://jurnal.unpad.ac.id/jkrk/article/download/39993/18781
- https://jurnal.unpad.ac.id/jkrk/article/download/20893/9921
- https://jurnaltunasagraria.stpn.ac.id/index.php/JTA/article/view/223/190
- https://ejournal.uhb.ac.id/index.php/inconcreto/article/view/1132/693
- https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/01/09/konflik-agraria-meningkat-sepanjang-2022-kemauan-politik-jadi-tumpuan-penyelesaian
- Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
- https://www.rri.co.id/hukum/408396/komnas-ham-konflik-agraria-masyarakat-adat-paling-rentan?utm_source=popular_home&utm_medium=internal_link&utm_campaign=General%20Campaign