Istilah pasar karbon masih asing bagi sebagian besar masyarakat. Kesan pertama yang umumnya muncul saat pertama kali mendengar istilah ini adalah pengertian karbon sebagai arang (charcoal), berasal dari bahasa Latin yaitu carbo yang artinya arang, batu bara. Karbon merupakan unsur yang memiliki sifat unik- kemampuan luar biasa untuk membentuk ikatan kimia, yang membuatnya penting bagi kehidupan di bumi. Tanpa karbon, kehidupan yang kita kenal tidak mungkin ada. Karbon terdapat pada semua jenis makhluk hidup dan pada manusia, karbon merupakan unsur sangat berlimpah kedua (sekitar 18,5%) setelah oksigen. Keberlimpahan karbon ini, bersamaan dengan keanekaragaman senyawa organik dan kemampuannya membentuk polimer membuat karbon sebagai unsur dasar kimiawi kehidupan.
Mengapa makhluk hidup (biologis) disebut dengan “carbon based lifeform” karena sejauh ini hanya karbon satu-satunya unsur yang bisa membentuk senyawa kompleks. Senyawa kompleks adalah senyawa dengan ratusan bahkan ribuan atom dalam satu senyawa molekul. Senyawa yang ditemukan pada makhluk hidup dikenal sebagai senyawa organik. Senyawa organik penyusun sel dan struktur organisme lainnya dan menjalankan proses kehidupan. Makhluk hidup menghirup oksigen karena kebutuhan sel akan energi. Tanpa energi yang memadai, sel akan gagal menjalankan fungsinya hingga akhirnya mati. Konsumsi oksigen masih menjadi kebutuhan primer. Oksigen merupakan senyawa oksidator yang mampu menerima donor elektron dari berbagai senyawa karbon sehingga merupakan penghasil yang ideal bagi makhluk hidup. Sederhananya, makhluk hidup membutuhkan bahan bakar agar dapat hidup, sebagaimana mobil membutuhkan bensin agar dapat berjalan.
Definisi lain menyebutkan, carbon adalah suatu unsur yang diserap dari atmosfer melalui proses fotosintesis dan disimpan di dalam bentuk biomassa suatu vegetasi. Dan hal yang dimaksud dalam karbon ini adalah karbon dioksida (CO2), salah satu jenis gas rumah kaca yang dapat menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Banyak penelitian telah hampir memastikan bahwa pemanasan global ini diakibatkan oleh meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi. Gas rumah kaca adalah jenis-jenis gas yang dapat memerangkap radiasi matahari yang sebagian seharusnya dipantulkan lagi oleh bumi. Semakin tinggi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, semakin tinggi pula radiasi energi matahari di perangkapnya, sehingga mengakibatkan peningkatan suhu atmosfer. Inilah fenomena yang dikenal dengan istilah efek rumah kaca (greenhouse effect). Menangani perubahan iklim memerlukan dua jalur tindakan yang dilakukan bersamaan yakni mitigasi dan adaptasi.
Mitigasi bermakna tindakan untuk memperlambat laju perubahan iklim, sedangkan adaptasi bermakna tindakan untuk menyesuaikan diri dengan risiko dampak perubahan iklim yang telah atau mungkin terjadi. Kedua tindakan ini akan meringankan dampak perubahan iklim bagi kehidupan manusia. Dalam tataran internasional, dunia merespon ancaman perubahan iklim dengan suatu konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bernama United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Konvensi ini telah diadopsi oleh 195 negara termasuk Indonesia yang meratifikasinya melalui Undang-Undang No. 6/1994. Salah satu capaian penting dalam pelaksanaan konvensi ini adalah dirumuskannya Protokol Kyoto pada tahun 1997.
Protokol ini memberikan kewajiban bagi negara-negara maju untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak rata-rata 5 persen di bawah aras tahun 1990. Protokol ini mulai berlaku efektif pada tahun 2005 sedangkan Indonesia meratifikasinya melalui Undang-Undang No. 17/2004. Pada 12 Desember 2015, sebanyak 195 negara termasuk Indonesia, menyepakati perjanjian iklim global yang dikenal sebagai Perjanjian Paris (Paris Agreement). Perjanjian ini sepenuhnya bersifat sukarela, di mana semua negara yang menyepakatinya berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan memastikan suhu global tidak naik lebih dari 2˚C (3.6˚F); menjaga kenaikan suhu global tetap di bawah 1.5˚C (2.7˚F). Perjanjian Paris mulai berlaku efektif pada 4 November 2016.
Melanjutkan kesepakatan tersebut, skema-skema perdagangan karbon global pun dilaksanakan untuk menjaga jumlah emisi karbon yang dikeluarkan ke atmosfer. Terkait pengawasan emisi karbon, perdagangan karbon umumnya dilakukan melalui bursa komoditi dengan standar satuan tertentu. “Karbon” yang dimaksud dalam perdagangan karbon di bursa adalah kredit karbon. Secara sederhana, kredit karbon merepresentasikan ‘hak’ menghasilkan karbon. Kredit ini dihasilkan oleh proyek-proyek penghijauan dengan metode perhitungan potensi penyerapan karbon yang telah diakui secara global.
Sementara itu, usaha maupun instansi yang menghasilkan emisi karbon lebih dari kredit (atau ‘hak’) yang dimiliki, dapat membeli kredit karbon yang dijual di pasar karbon. Dengan demikian, kita dapat mengontrol sekaligus menyeimbangkan jumlah emisi karbon yang dikeluarkan ke atmosfer bumi dan menjaga kenaikan suhu global di bawah 1.5˚C. Prinsip ini juga yang sedikit banyak mendasari pengembangan pasar karbon dimana pihak-pihak yang memiliki tanggung jawab untuk mengurangi emisi gas rumah kaca namun tidak dapat melakukan-nya sendiri dapat “menyuruh” pihak lain untuk melakukan itu atas namanya. Dengan adanya pihak yang membutuhkan penurunan emisi dan pihak yang bisa menyuplai penurunan emisi yang dibutuhkan, terbentuklah pasar dengan menciptakan adanya perdagangan karbon (carbon trading) yang merupakan aktivitas pembelian dan penjualan kredit atas pengeluaran karbon dioksida atau gas rumah kaca. Melalui perdagangan itu, harapannya tingkat emisi di bumi bisa berkurang. Selain, meminimalkan dampak perubahan iklim.
Referensi :
https://forestsnews.cifor.org/28522/apa-sebenarnya-hak-karbon-itu?fnl=en
http://jcm.ekon.go.id/en/uploads/files/Document%20JCM/Media/buku_carbon_isi.pdf