Pelbagai kemeriahan dalam menyambut hari kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan kegiatan seperti balap karung, makan kerupuk, tepuk bantal dan aktivitas lainnya. Satu kemeriahan lain dalam menyambut kemerdekaan adalah hari besar kabut yang sedang dijalani sebagian kota dan kabupaten di Kalimantan barat dan daerah lain. Kebakaran hutan dan lahan telah menjadi salah satu isu paling kontroversial dalam dunia ekologi dan lingkungan. Kejadian ini tidak hanya mempengaruhi ekosistem lokal, tetapi juga memiliki dampak global yang merambah masalah perubahan iklim. Sebuah pertanyaan datang di kepala orang-orang mengenai lumrahnya kebakaran hutan dan lahan di negeri ini.
Kontroversial terbesar adalah tentang siapa yang bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan serta bagaimana cara menanganinya. Banyak pihak menyalahkan praktik pertanian berbasis pembakaran, perambahan hutan untuk perluasan lahan pertanian, dan kurangnya pengawasan pemerintah. Namun, ada juga pandangan yang berargumen bahwa upaya konservasi terlalu membatasi kemajuan ekonomi dan pembangunan.
Kalimantan Barat menjadi salah satu provinsi yang sering terjadi kebakaran hutan dan lahan. Dalam periode Tahun 2012–2016 telah terjadi banyak kebakaran hutan di Provinsi Kalimantan Barat, berdasarkan data Kebakaran Hutan dan Lahan Monitoring Sistem yang merupakan rekapitulasi Luas Kebakaran Hutan dan lahan (Ha) Per Provinsi Di Indonesia Tahun 2011-2016.
Sementara pada Tahun 2017, terdeteksi 150 hotspot di Kalimantan Barat, dimana 109 hotspot kategori dan 41 hotspot kategori tinggi. Di Kalimantan Barat terdapat 5 kabupaten yang telah menetapkan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan yaitu Kabupaten Kubu Raya, Ketapang, Sekadau, Melawi, dan Bengkayang.
Rekapitulasi luas kebakaran hutan dan lahan (Ha) Provinsi Kalimantan Barat
Berdasarkan luas kebakaran hutan dan lahan (Ha) Provinsi Kalimantan Barat dari tahun 2018 hingga 2023 (Update Juli 2023) berjumlah 282.950,03 Ha. Terhitung sejak juli 2023 hingga saat ini kebakaran lahan masih melanda hampir seluruh wilayah yang ada di Kalimantan Barat. Untuk melihat sumber kemunculan hotspot yang mengindikasikan terjadinya kebakaran, SIAR melakukan analisis rutin terhadap potensi dan kemunculan titik api. Salah satunya dengan mengcluster hotspot dengan tingkat kepercayaan tinggi di areal yang telah terbebani izin untuk usaha perkebunan.
CIFOR (2006) melaporkan bahwa pada 1997/1998 sekitar 10 juta hektar hutan, semak belukar dan padang rumput terbakar, sebagian besar dibakar dengan sengaja. Di lain pihak, Setyanto dan Dermoredjo (2000) menyebutkan bahwa kebakaran hutan paling besar terjadi sebanyak lima kali dalam kurun waktu sekitar 30 tahun (1966-1998), yakni tahun 1982/1983 (3,5 juta ha), 1987 (49.323 ha), 1991 (118.881 ha), 1994 (161.798 ha) dan 1997/1998 (383.870 ha). Terdapat perbedaan data yang sangat mencolok antara kedua laporan tersebut diatas, namun tanpa meniadakan perlunya informasi tentang luas areal hutan dan lahan yang terbakar, satu hal yang sangat penting adalah bahwa kebakaran ini telah merugikan banyak pihak.
Sumber Peta: Analisis SIAR, 2023
Analisis hotspot yang dilakukan SIAR pada rentang waktu 11-16 Agustus 2023 mendeteksi sebanyak 265 hotspot di Kalimantan Barat dengan tingkat kepercayaan 80-100%. Overlay sebaran hotspot dengan areal perizinan perkebunan menunjukan 36% hotspot tersebut berada di areal izin perkebunan. Dari total 265 hotspot, sebanyak 94 hotspot terdapat di wilayah konsesi perusahaan swasta dan negara yang tersebar di beberapa kabupaten di Kalbar dengan rincian sebagai berikut:
Kebakaran hutan merupakan salah satu bencana ekologis yang menyebabkan kerusakan lingkungan, keselamatan dan kesehatan masyarakat. Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, menyatakan setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat karena bagian dari Hak Asasi Manusia nya. Atas dasar tersebut, Negara turut mempunyai tanggung jawab yang harus dilaksanakan khususnya dalam mengantisipasi dan menangani kebakaran lahan.
Dalam hal lahan yang dikuasai negara telah diberikan izin kepada pemegang izin atau korporasi. Lahan tersebut dimandatkan untuk dikelola sesuai peruntukannya dan menjadi tanggung mutlak oleh pemegang izin untuk dijaga dan dikelola dengan baik dan benar. Termasuk mencegah terjadinya kerusakan yang dapat mengakibatkan/ berdampak pada masyarakat luas. Berangkat dari historikal kebakaran lahan yang terus menerus terjadi di Indonesia, seringkali pembakaran lahan dilakukan secara sadar dan terorganisir demi memangkas biaya pembukaan lahan untuk pengembangan komoditas-komoditas usaha khususnya sektor perkebunan.
Penyebab kebakaran hutan dan lahan erat kaitanya dengan perilaku manusia yang menginginkan percepatan penyiapan lahan (land clearing) untuk persiapan penanaman komoditas perkebunan. Dimana para pihak yang berkepentingan ingin secara instan segera menyiapkan lahan dengan biaya yang serendah-rendahnya dan sekaligus mengharapkan perbaikan unsur hara dari tanah yang dibakar tersebut. Seperti tanaman perkebunan (sawit dan akasia, misalnya) dapat tumbuh dengan baik. Praktek perladangan secara tradisional yang menerapkan sistem usahatani gilir balik tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena jumlah wilayah yang terbakar pada lahan-lahan tersebut hanya sekitar 20 persen dari total keseluruhan yang terbakar tetapi kita juga tidak dapat membenarkan praktek tersebut. Dari jumlah ini, kurang dari separuhnya terjadi pada lahan-lahan pertanian milik masyarakat yang menerapkan rotasi usahatani sementara sisanya pada kawasan bekas konsesi yang ditinggalkan para pemiliknya yang kemudian digunakan oleh masyarakat.
Dampak kebakaran hutan dan lahan yang paling menonjol adalah terjadinya kabut asap yang sangat mengganggu kesehatan masyarakat dan sistem transportasi sungai, darat, laut, dan udara. Secara sektoral dampak kebakaran ini mencakup sektor perhubungan, kesehatan, ekonomi, ekologi dan sosial, termasuk citra bangsa di mata negara tetangga dan dunia (Hermawan, 2006). Di lain hal akibat dari kebakaran hutan dan lahan menjadi persoalan internasional, dimana asap dari kebakaran hutan Kalimantan Barat menimbulkan kerugian materiil dan imateriil di negara negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura (BBC Indonesia 2015).