Berbagai perbincangan mengenai lingkungan tentu tidak ada habisnya, seperti ekosida atau ecocide yang menjadi mesin pemusnahan/pembunuhan tempat tinggal dari makhluk hidup. Dengan sistematis, terstruktur dan besar ekosida dapat tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan zaman dalam lingkup lingkungan, sosial, budaya, hukum, tata kelola dsb. Perbincangan mengenai kejahatan ini terus terjadi seperti statement politis didengungkan pada Konferensi Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Stockholm, Swedia di tahun 1972. Konferensi ini fokus pada isu-isu lingkungan hidup, terutama mengenai degradasi lingkungan.
Namun, sebenarnya pembahasan ini sudah tercatat pada Konferensi Perang dan Tanggung Jawab Nasional di Washington pada tahun 1970 oleh Arthur Galston, seorang biologis dan botanis Amerika yang meyakini bahwa dalam Perang Vietnam, kubu militer Amerika Serikat melakukan operasi yang mematikan di antara tahun 1962-1971. Pada operasi tersebut diyakini bahwa pesawat-pesawat Amerika membuang 19 juta galon herbisida di hutan-hutan belantara Vietnam. Zat kimia tersebut disemprotkan untuk memusnahkan tanaman pangan, sehingga para prajurit Vietnam yang melakukan persembunyian di hutan belantara akan habis secara perlahan karena kelaparan. Selain itu, operasi mematikan tersebut bertujuan untuk menggunduli hutan alam dan bakau serta memusnahkan basis-basis tanaman pangan rakyat.
Pada tahun 1991, akhirnya definisi ekosida ditetapkan dalam rancangan draf Statuta Roma. Seperti yang kita tahu, Statuta Roma adalah perjanjian internasional yang menetapkan fungsi utama Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). ICC mengadili kasus dalam empat kategori, yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Namun, pada tahun 1995 rancangan draf yang memuat definisi ekosida tersebut ditarik melalui keputusan sepihak ketua komisi. Tentu saja, penarikan tersebut dikarenakan adanya tekanan dari beberapa negara terkait upaya lobi promosi nuklir. Oleh karena itu, hingga sekarang belum ada pengakuan ekosida sebagai kejahatan luar biasa.
Rekognisi yang abu-abu membuat ekosida tumbuh subur di berbagai negara, seperti Indonesia. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat 3 kasus kejahatan ekosida di Indonesia, yaitu lumpur panas Lapindo, kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan Tengah pada tahun 2015, dan pembangunan PLTA di Koto Panjang pada tahun 1991. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akhir tahun 2018 melaporkan 2.426 peristiwa bencana terjadi di Indonesia, dan sebagian besar masih didominasi oleh banjir, longsor dan puting beliung dengan korban jiwa mencapai ribuan orang. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan sepanjang tahun 2018 sedikitnya telah terjadi 410 konflik agraria dengan luas wilayah konflik mencapai 807.177, 613 hektar dengan melibatkan 87.568 KK.
Selanjutnya, KPA menyebutkan rincian konflik tersebut terdiri dari 144 (35%) di sektor Perkebunan, 137 (33%) di sektor Properti, 53 (13%) di sektor Pertanian, 29 (7%) di sektor Kehutanan, 19 (5%) di sektor Pertambangan, 16 (4%) di sektor infrastruktur dan 12 (3%) di sektor Pesisir/Kelautan. Konflik paling besar di sektor perkebunan yang 83% diantaranya dari komoditi kelapa sawit yang dapat diartikan bahwa Kementerian ATR/BPN merupakan Kementerian yang paling bermasalah dan tidak mempunyai keseriusan terkait upaya penyelesaian konflik agraria-sumber daya alam.
Sementara itu masyarakat dan pegiat lingkungan yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupannya justru mengalami kriminalisasi dan kekerasan oleh korporasi dengan menggunakan instrumen hukum dan tangan negara. Berbagai fakta krisis dan kerusakan lingkungan hidup dan kemanusiaan di Indonesia yang terjadi hingga hari ini, telah menyebabkan kemiskinan, kehancuran ekologis dan praktek kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia di hampir setiap jengkal tanah di Indonesia. Kehancuran ekologis semakin besar terjadi karena bersekutunya elit kuasa negeri dengan para kuasa modal. Sementara risiko kerusakan lingkungan hidup dan hilangnya aset-aset untuk keberlangsungan hidup harus ditanggung oleh rakyat.
Pertanyaan sederhana mengenai mekanisme mengapa 3 kasus tersebut masuk dalam pemusnahan lingkungan adalah dengan pengklasifikasian kejahatan ekosida ketika terdapat 3 dampak yang ditimbulkan. Pertama adalah mempunyai dampak yang panjang terhadap satuan dan fungsi kehidupan dan tidak dapat dipulihkan kembali. Kedua, yaitu terdapat satuan dan fungsi yang musnah pada rangkaian kehidupan dari kondisi semula. Kemudian yang ketiga adanya penyimpangan-penyimpangan fisik dan psikis manusia.
“Berkaca dari kejadian bencana yang tidak menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Total jumlah korban yang naik hampir tiga kali lipat dari periode 2017 ke 2018, yaitu sebanyak 3.49 juta orang di tahun 2017 menjadi 9,88 juta orang terdampak. Indikator-indikator kualitas lingkungan hidup dan ekosistem juga menunjukkan kondisi yang tidak berbeda dengan kondisi global. Menurut laporan IPBES di tahun 2018, Indonesia mengalami kehilangan hutan seluas 680.000 hektar setiap tahunnya–tertinggi di region Asia Tenggara. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2016 menyatakan bahwa dari 105 sungai yang dipantau di Indonesia, 101 sungai berada pada kondisi tercemar sedang dan berat. Sementara, di pulau Jawa yang memiliki populasi 56,9% ketersediaan air bersih hanya mencakup 4,2% saja. Sudah jamak diketahui bahwa penyumbang utama kerusakan hutan dan pencemaran di Indonesia adalah kegiatan industri–konversi hutan menjadi perkebunan besar monokultur, pertambangan, serta operasi pabrik-pabrik yang mengeluarkan limbah berbahaya dan beracun”.
Kejahatan lingkungan yang menimbulkan kerusakan secara masif, meluas, dan berdampak untuk jangka waktu yang lama kepada manusia, ekosida memiliki karakter yang sama dengan kejahatan yang berada di bawah yurisdiksi International Criminal Court (ICC). Meskipun telah banyak perjanjian lingkungan internasional, namun belum ada mekanisme peradilan yang mengikat untuk menangani kejahatan ecocide tersebut karena mayoritas perjanjian internasional yang bersifat law making treaties ditambah dengan belum adanya pengakuan secara pasti mengenai kejahatan ini. Kejahatan ecocide memiliki urgensi untuk segera dilakukan pengaturannya di bawah yurisdiksi ICC, karena adanya kesamaan karakteristik kejahatan ecocide dengan karakteristik kejahatan yang menjadi perhatian ICC. Pemilihan forum ICC dipilih karena sebagai pengadilan pidana internasional yang independen yang dapat mengadili orang perseorangan.
Sebab-Musabab ekosida sebenarnya dipengaruhi banyak faktor. Berangkat dari penelitian Saleh, M. Ridha.,dkk (2019) mengenai hubungan erat antara ecocide atau ekosida dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Indonesia. Hal itu karena ekosida menghancurkan lingkungan hidup, memicu malapetaka dan kerusakan besar, baik secara langsung maupun tidak langsung, dilakukan oleh individu, korporasi atau negara. Motivasi laba bagi korporasi dan harta bagi oknum penyelenggara negara menghasilkan rangkaian korupsi dan praktik tata kelola yang terus merusak lingkungan dan mengeksploitasi sumber daya alam.
Berbagai kejahatan layaknya tidak pernah lepas dari pengaruh keadaan para pengguna politik dan sistem regulasi yang dibangun. Regulasi yang kurang membaur pada lingkungan membawa dampak “istimewa” bagi manusia misalnya. Seperti ada negara dalam negara dan bahkan mampu mengatur negara. Agenda demokrasi seperti pemilu pun dibajak. Bahkan kolaborasi kekuatan ekonomi dan politik belakangan, telah berupaya melakukan upaya sistematis untuk meluluhlantakkan sistem hukum kita. Percobaan penghancuran sistem hukum dilakukan, khususnya dalam kerangka penegakan hukum lingkungan.
Pemilu 2024 Indonesia disinyalir sebagai ajang pertarungan kekuatan politik untuk menguasai sumber daya alam kedepannya. Pemilu yang notabene adalah produk dari demokrasi memungkinkan untuk meninggalkan bekas sampah dari hasil produksinya, dapat dikatakan sebagai faktor kuat dalam menjembatani kejahatan lingkungan, terkhusus di Indonesia. Hubungan antara politik dan ekosistem sangatlah erat. Kebijakan dan keputusan politik yang dibuat oleh institusi politik memiliki dampak signifikan terhadap kondisi lingkungan dan keberlanjutan ekosistem. Kebijakan Lingkungan, Perjanjian Internasional, Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Industri Regulasi merupakan contoh hubungan antara politik dan ekosistem yang membawa alam pada pemusnahan jika ekosida makin masif. Dengan demikian, penting bagi para pemimpin politik untuk mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari keputusan mereka terhadap lingkungan dan ekosistem. Keterlibatan politik yang bijaksana dan berkelanjutan dapat membantu mendorong praktek-praktek yang ramah lingkungan dan menjaga keberlanjutan dari kejahatan ekosida.
Referensi :
https://wanaswara.com/apa-itu-ekosida/#:~:text=Ekosida%20atau%20ecocide%20berasal%20dari%20dua%20kata%2C%20yaitu,pembunuhan%20dan%20pemusnahan%20terhadap%20tempat%20tinggal%20makhluk%20hidup
https://www.walhi.or.id/wp-content/uploads/2019/05/Ecocide-Web.pdf
http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/4518