Pada akhir Juni 2023, Pemerintah kembali mengguncang jagat media tanah air melalui rencana untuk memutihkan atau melegalkan perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan. Menurut hasil audit industri kelapa sawit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan adanya 3,3 juta hektar perkebunan sawit yang berada di kawasan hutan. Luas lahan ilegal yang sangat besar tersebut pasti sudah berlangsung sangat lama, dan terkesan ada pembiaran dari Pemerintah. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengatakan, terdapat 16,8 juta hektar luas lahan sawit di Indonesia. Dari jumlah tersebut seluas 10,4 juta hektar digunakan oleh perusahaan, sedangkan sisanya untuk perkebunan rakyat.

Rencana pemutihan ini pun secara langsung akan berdampak pada tutupan sawit dalam kawasan hutan yang berada di Kalimantan Barat. Data dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2019) menyebutkan, Kalimantan Barat merupakan Provinsi dengan lahan perkebunan kelapa sawit terluas ketiga yaitu 1,8 juta hektare setelah Provinsi Riau (3,4 juta hektar) dan Sumatera Utara (2,1 juta hektar) dan dari luas sawit tersebut berdasarkan analisis oleh SIAR menunjukkan angka sekitar 109.233,69 hektar yang berada dalam kawasan hutan.
Jika rencana pemutihan ini dilakukan melalui UU Cipta Kerja, maka kawasan hutan di Kalimantan Barat seluas 109.233,69 hektar akan legal ditanami kelapa sawit tanpa ada pertanggungjawaban secara berkelanjutan. Secara rinci dari luas tutupan sawit yang berada di kawasan hutan berdasarkan fungsi kawasan hutan di Kalimantan Barat sebagai berikut:

Disinyalir kebijakan terbaru ini akan menimbulkan masalah baru bagi lingkungan hidup kedepannya, belum lagi persoalan keterbukaan data temuan 3,3 Juta Ha hasil audit BPKP mengenai sawit ilegal yang belum di publish oleh Pemerintah. Dengan adanya rencana pemutihan sawit dalam kawasan hutan, tak-pelak membuat gaduh masyarakat dan pemerhati lingkungan, sebab penyelesaian perkara ini melalui mekanisme UU Cipta Kerja yang notabene dianggap inkonstitusional dan masih proses judicial review oleh Mahkamah Konstitusi.
Melalui UU Cipta Kerja pemutihan lahan sawit dalam kawasan hutan siap digodok asalkan membayar ongkos keterlanjuran dalam bentuk denda administratif. Tentu hal ini membawa angin segar bagi pihak yang berkepentingan asalkan menyetor pajak sesuai yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Pendekatan hukum yang digunakan memang ultimum remedium atau mengedepankan sanksi administratif. Namun bukan berarti sanksi hukum hilang begitu saja.
Mekanisme UU-Cilaka jika sanksi administrasi dalam bentuk denda tidak dipenuhi, maka barulah melangkah ke sanksi penegakan hukum berikutnya, mulai dari pencabutan izin dan paksaan pemerintah berupa penyitaan dan paksa badan. Implementasi UU-CK penting menjadi kerja kolaborasi multipihak agar kesalahan masa lalu tidak terulang dalam hal legalitas lahan. Tujuannya agar kawasan hutan tetap terjaga dan rakyat sejahtera.
Ada beberapa alasan mengapa Pemerintah tidak bisa “memutihkan” perkebunan sawit ilegal dalam Kawasan Hutan:
- Pasal 110A hanya berlaku bagi mereka yang sudah mempunyai Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan. Sedangkan Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan pasti bukan untuk perkebunan sawit. Artinya, perkebunan sawit di dalam kawasan hutan pasti tidak mempunyai Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan, sehingga Pasal 110A tidak berlaku bagi mereka.
- Penggunaan Kawasan Hutan tidak boleh mengubah fungsi pokok Kawasan Hutan (pasal 38, ayat (2)). Sehingga Pasal 110B UU Cipta Kerja tidak bisa dijadikan alasan untuk memberi Perizinan Berusaha kepada pengusaha sawit, dengan mengubah fungsi pokok kawasan hutan menjadi perkebunan.
- Penggunaan Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha, atau penggunaan Perizinan Berusaha yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan, termasuk kategori Perusakan Hutan (Pasal 1, butir 3).
- Setiap orang yang mengerjakan, menggunakan dan/atau menduduki Kawasan Hutan secara tidak sah (Pasal 50 ayat (2), huruf a), dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp7,5 miliar.
- Pasal 110A dan Pasal 110B tidak bisa menghilangkan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara seperti dimaksud UU tentang Tindak Pidana Korupsi.
Dampak jika perkebunan sawit dalam Kawasan Hutan:
Dampak yang dapat terjadi jika perkebunan sawit berada di kawasan hutan, salah satu dampak paling signifikan adalah deforestasi atau penggundulan hutan. Untuk memberikan ruang bagi perkebunan kelapa sawit, pohon-pohon hutan alami seringkali ditebang. Deforestasi ini mengakibatkan hilangnya habitat alami bagi banyak spesies tumbuhan dan hewan, termasuk spesies yang terancam punah. Penggundulan hutan untuk perkebunan kelapa sawit tentunya mengganggu keseimbangan ekosistem. Hutan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati tersebut dapat terancam kehilangan tempat tinggal dan sumber makanan mereka, hal ini berdampak negatif pada keberlanjutan ekosistem. Terjadinya perubahan iklim karena pembakaran hutan dapat melepaskan gas rumah kaca yang berdampak pada pemanasan global, perkebunan kelapa sawit yang membutuhkan tanah subur untuk pertumbuhannya membuat konversi hutan menjadi perkebunan, tanah yang subur yang sebelumnya mendukung ekosistem hutan menjadi rusak dan tidak lagi dapat digunakan untuk pertanian lainnya. Tak hanya permasalahan lingkungan, dampak lain ekspansi perkebunan kelapa sawit seringkali juga terkait dengan konflik sosial dengan masyarakat adat dan petani lokal yang kehilangan akses terhadap tanah dan sumber daya alam yang mereka butuhkan untuk hidup.
Referensi :
http://mediaperkebunan.id/sebagian-besar-kebun-sawit-dalam-kawasan-tidak-ajukan-pelepasan/