FOLU (Forestry, Agriculture, and Other Land Use) adalah istilah yang mengacu pada sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca dan juga memiliki potensi sebagai penyerap karbon. Konsep FOLU net sink mengacu pada upaya untuk mengurangi emisi dan meningkatkan penyerapan karbon di sektor FOLU sehingga menciptakan saldo netto penyerapan karbon. Skema perdagangan karbon adalah salah satu alat yang digunakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cara memperdagangkan izin emisi antara entitas yang memiliki surplus emisi dengan entitas yang memiliki kelebihan penyerapan karbon. Tujuan utamanya adalah menciptakan insentif ekonomi bagi pengurangan emisi dan investasi dalam proyek penyerapan karbon.
Presiden Joko Widodo sudah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 98/2021 tentang nilai ekonomi karbon pada 29 Oktober 2021. Aturan ini akan menjadi landasan Indonesia memasuki perdagangan karbon di pasar wajib. Perdagangan karbon juga menjadi tema pembahasan delegasi 197 negara dalam Konferensi Iklim ke-26 atau Conference of the Parties (COP26) di Glasgow hingga 12 November 2021. Selama ini, perdagangan karbon di Indonesia masih memakai pasar sukarela. Beberapa perusahaan restorasi menjual jasa melindungi ekosistem, konservasi, atau menjaga hutan dengan perusahaan luar negeri untuk mengganti emisi yang mereka produksi. Namun, skema perdagangan karbon juga dapat menghadapi bahaya greenwashing. Greenwashing adalah suatu strategi pemasaran dan komunikasi suatu perusahaan untuk memberikan citra yang ramah lingkungan, baik dari segi produk, nilai, maupun tujuan perusahaan tanpa benar-benar melakukan kegiatan yang berdampak bagi kelestarian lingkungan. Strategi greenwashing dijalankan dalam bentuk iklan, promosi, atau event yang bertemakan ramah lingkungan. Melalui citra ‘hijau’ yang dibentuk ini, diharapkan konsumen memiliki pandangan yang lebih baik terhadap perusahaan dibandingkan produk lain di sektor yang sama, sehingga perusahaan mengalami peningkatan profit. Padahal, di balik peningkatan profit tersebut, terjadi pula peningkatan permintaan yang merusak lingkungan. Greenwashing ini terjadi ketika perusahaan atau entitas lain secara salah mengklaim bahwa mereka melakukan tindakan yang ramah lingkungan atau berkelanjutan, sedangkan tindakan mereka sebenarnya tidak sejalan dengan klaim tersebut. Dalam konteks skema perdagangan karbon, greenwashing dapat terjadi dalam berbagai beberapa cara. Salah satunya adalah carbon offset yaitu tindakan untuk mengkompensasi atau mengimbangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan manusia. Emisi gas rumah kaca, seperti karbon dioksida (CO2), berkontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Carbon offset melibatkan pengurangan emisi di suatu tempat atau sektor untuk mengimbangi emisi di tempat atau sektor lainnya. Singkatnya, carbon offset adalah tindakan meniadakan emisi CO2 yang dihasilkan di satu tempat dengan tindakan pengurangan emisi di tempat lain.
Carbon offset yang tidak valid mengenai beberapa entitas dapat menggunakan skema perdagangan karbon untuk memperoleh kredit karbon dengan membeli offset karbon yang tidak sah atau tidak bermanfaat secara nyata dalam mengurangi emisi. Hal ini dapat mengakibatkan kesan bahwa mereka melakukan tindakan berkelanjutan, padahal tidak ada pengurangan emisi yang sebenarnya terjadi. Contoh kasus greenwashing dilakukan oleh beberapa perusahaan kelapa sawit di Indonesia. Dalam salah satu forum lingkungan internasional, perusahaan sawit ini mengisi diskusi-diskusi dan membawa pesan untuk menjaga kekayaan alam Indonesia serta mengatakan bahwa mereka siap menjadi mitra global menghadapi perubahan iklim. Sungguh ironis. Padahal, sektor industri kelapa sawit merupakan penyebab terbesar deforestasi hutan tropis di Indonesia dan seluruh tanaman (pertanian dan perkebunan) 19 persen menjadi sebab dari deforestasi yang terjadi di Indonesia. Kebun sawit sendiri, dari total tanaman yang menjadi sebab deforestasi menyumbang 43 persen, yang kemudian memiliki dampak berupa semakin buruknya perubahan iklim. Kegiatan ini dapat menjadi salah satu upaya industri kelapa sawit dalam memperbaiki citranya yang sering dicap sebagai perusak lingkungan dan melalui diskusi ini dapat terjadi perbaikan citra tanpa perusahaan-perusahaan tersebut melakukan perubahan cara kerjanya sedikit pun.
Seharusnya para perusahaan-perusahaan dapat melaksanakan skema tersebut secara simultan dengan memperhatikan pemeliharaan aktivitas ber-emisi tinggi seperti melestarikan hutan, pengelolaan hutan yang berkelanjutan/reforestasi (penanaman kembali pohon-pohon), dan sebagainya yang berkaitan dengan mempertahankan keanekaragaman hayati, menjaga sumber daya alam, dan memitigasi perubahan iklim. Mengatasi bahaya greenwashing dengan memperkuat kerangka kerja regulasi dan mengimplementasikan pengawasan yang ketat dalam skema perdagangan karbon ini melibatkan pemantauan yang lebih baik, verifikasi independen, dan transparansi yang lebih besar dalam pelaporan emisi dan penyerapan karbon.
Diperlukan upaya kolaboratif pemangku kepentingan lainnya untuk memastikan bahwa skema perdagangan karbon benar-benar menghasilkan pengurangan emisi yang signifikan dan berkelanjutan bukan hanya persoalan klaim-klaim yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Referensi :
https://green.ui.ac.id/greenwashing-ketika-realita-tak-sehijau-kata-kata
https://waste4change.com/blog/perbedaan-carbon-credit-dan-carbon-offset/