Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan bagi Indonesia dalam perdagangan internasional dan termasuk dalam sepuluh komoditas ekspor utama menurut Kementrian Perdagangan (2014). Akan tetapi keberterimaan pasar global terhadap produk sawit diharuskan melalui pengelolaan yang lestari, berkelanjutan serta memperhatikan aspek sosial dan hak asasi manusia. Oleh karenanya Indonesia mulai secara masif mengampanyekan sawit berkelanjutan. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan mendorong sertifikasi sawit berkelanjutan melalui Indonesian sustainable palm oil (ISPO) yang bersifat mandatory dan sertifikasi Roundtable sustainable palm oil (RSPO) yang sifatnya voluntary. ISPO dikeluarkan melalui Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Aturan ini dibuat untuk memastikan bahwa kelapa sawit dan produk turunannya diproduksi sesuai dengan standar dan kebijakan sawit berkelanjutan. Sawit dianggap berkelanjutan jika nihil deforestasi, nihil pengembangan gambut, dan nihil eksploitasi (NDPE). Untuk memenuhi target pemerintah tersebut pekebun dituntut untuk dapat menerapkan prinsip dan kriteria perkebunan berkelanjutan.
Pekebun adalah aktor penting dalam rantai pasok industri sawit di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian (2020) kontribusi perkebunan sawit rakyat di Indonesia mencapai 40,6%. Mereka memasok Tandan Buah Segar (TBS) ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) setiap hari hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan Rist dkk (2010) yang mengatakan bahwa banyak pekebun telah memperoleh pengembalian yang lebih tinggi atas produktivitas tanahnya, tentu ini akan menjadi kenyataan jika setiap petani swadaya dapat menerapkan praktek perkebunan terbaik serta menjadi salah satu parameter industri kelapa sawit di tanah air. Mereka menjadi penggerak ekonomi utama untuk memberantas kemiskinan di wilayah pedalaman, yang selama ini tak tersentuh oleh agenda pembangunan nasional (Budidarsono et al. 2013) Secara nasional, dari 1,96 juta hektar perkebunan sawit rakyat (Auriga, 2020) atau 6,09 juta hektar perkebunan sawit rakyat (Kementan, 2020) hanya 21 kelompok pekebun yang sudah bersertifikat ISPO (Ditjenbun, 2021) dan 32 kelompok pekebun yang sudah bersertifikasi RSPO (RSPO, 2021). Dari total 41% perkebunan mandiri, baru 8% petani yang mendapatkan penyuluhan dan pendampingan budidaya dan pertanian. Terbatasnya kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang diterima petani sawit mengakibatkan minimnya informasi yang didapatkan petani dalam penerapan praktek budidaya yang baik dan lestari. Di sisi lain minimnya kelembagaan petani membuat proses sertifikasi tidak begitu general di setiap wilayah Indonesia, padahal kelembagaan petani merupakan syarat dari sertifikasi berkelanjutan.
Selain menjadi pondasi bagi sertifikasi sawit berkelanjutan seperti ISPO dan RSPO, Kelembagaan petani menjadi penting karena merupakan prasyarat dalam mengakses bantuan-bantuan pengembangan oleh pemerintah serta memberikan kepastian pemenuhan aspek legal bagi pekebun. Bantuan-bantuan tersebut berupa pupuk bersubsidi, benih bersertifikat, program peremajaan sawit (PSR) hingga kemitraan. Kelembagaan petani swadaya akan membuka akses petani ke berbagai dukungan, peningkatan kapasitas, sertifikasi, dan akses ke pasar global. Perlunya penguatan dari berbagai pihak untuk kelembagaan petani swadaya serta penerapan internal control system dalam proses awal hingga akhir sertifikasi berkelanjutan.
Sejatinya, beragam sertifikasi memiliki banyak keuntungan sesuai tujuannya masing-masing. seperti sertifikasi RSPO memiliki mekanisme penjualan melalui book and claim untuk petani swadaya. Mekanisme ini membuat pekebun mendapatkan tambahan manfaat, berupa kredit volume TBS (Tandan Buah Segar) bersertifikat melalui palm trace dengan memperhatikan catatan penjualan per tahun. Sementara itu, sertifikasi ISPO termasuk yang kurang dalam hal memberikan timbal balik kepada pekebun swadaya. Saat ini, ISPO belum memiliki mekanisme atas insentif langsung untuk pekebun. Tetapi ISPO sendiri mendorong legalitas kepemilikan lahan petani swadaya agar terhindar dari berbagai konflik kepemilikan lahan. Rasanya agak berlebihan jika membahas sertifikasi hanya pada keuntungannya saja sedangkan banyak kendala yang dihadapi petani dalam proses sertifikasi berkelanjutan tersebut. Dapat dikatakan bahwa kompleksitas kendala sertifikasi membuat petani berpikir 2 kali untuk mengikutinya. Misalnya pada sumber daya modal yang besar akan berakibat pada alokasi biaya sertifikasi dan kelengkapan dokumen administrasi sertifikasi menjadi tambahan beban operasional bagi pekebun swadaya.
Analisis kesenjangan pengelolaan petani swadaya terhadap standar sertifikasi
Analisis olahan SIAR 2023
Bagi petani swadaya mengikuti sertifikasi kelapa sawit bukanlah perkara yang mudah, banyak proses yang harus dilakukan begitu pula pada sumber daya modal yang cukup besar dan dapat menyebabkan biaya yang signifikan tinggi dan menjadi kendala utama bagi petani swadaya. Jangka waktu pemenuhan persyaratan sertifikasi dapat memakan waktu bertahun-tahun, dengan biaya yang besar bagi petani dan produsen. Ini juga mengharuskan mereka untuk meluangkan waktu dan usaha untuk memenuhi persyaratan sertifikasi kelapa sawit. Mereka mungkin tidak memiliki cukup pendapatan untuk menutup biaya sertifikasi dan evaluasi yang dibutuhkan untuk memenuhi standar sertifikasi. Selain itu, petani swadaya juga harus memiliki waktu dan usaha yang diperlukan untuk menyelesaikan proses sertifikasi.
Belum lagi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang harus menerapkan tujuh prinsip dan kriteria sertifikasi seperti: (1) legalitas usaha perkebunan, (2) Manajemen Perkebunan, (3) Perlindungan terhadap pemanfaatan hutan alam primer dan lahan gambut, (4) Pengelolaan dan pemantauan lingkungan, (5) Tanggung jawab terhadap pekerja, (6) Tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat dan, (7) Peningkatan usaha secara berkelanjutan. Hal ini tentu sangat berat untuk para petani swadaya karena kurangnya akses informasi serta sosialisasi dan pendampingan dari berbagai pihak terkait sertifikasi berkelanjutan.
Pada dasarnya, sertifikasi merupakan langkah untuk memulihkan kepercayaan antara konsumen akhir dengan produsen barang mentah yang memerlukan produk turunan kelapa sawit yang asri dan berkelanjutan. Dari beberapa review auditor sertifikasi memperoleh kesimpulan bahwa petani kesulitan memenuhi persyaratan dokumen penting, seperti implementasi GAP (Good Agriculture Practice), legalitas lahan, manajemen kelembagaan, internal control system, asesmen keperluan pupuk, panen dan transportasi, dan manajemen pestisida.
Sertifikasi berkelanjutan perlu dilakukan oleh petani sawit mandiri untuk memastikan bahwa petani sawit mandiri sedang melaksanakan prinsip-prinsip dalam produksi yang ramah lingkungan dan juga mematuhi seluruh standar sosial dan etika. Dengan sertifikasi berkelanjutan, petani sawit mandiri dapat membantu meningkatkan kesadaran tentang pentingnya produksi sawit yang ramah lingkungan dan lebih manusiawi, anggap saja book and claim sebagai salah satu bonus jika petani berhasil dalam menerapkan P & C RSPO atau legalitas kepemilikan lahan pada ISPO.
Peran para pihak dalam mendukung sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan bagi petani swadaya dibutuhkan dalam hal ini, seperti langkah awal dalam peningkatan pemahaman tentang pentingnya sertifikasi berkelanjutan, mulai dari petani hingga produsen dan konsumen, peningkatan kualitas produksi dan praktik budidaya kelapa sawit yang berkelanjutan melalui peningkatan kapasitas dan kesadaran para petani dalam penerapan praktek perkebunan terbaik. Bahkan tidak menutup kemungkinan pemberian insentif kepada petani yang menjalankan praktik budidaya kelapa sawit berkelanjutan dengan memperkenalkan sistem pembayaran berbasis prestasi. Di sisi lain penggunaan teknologi untuk meningkatkan mutu dan produksi serta mengurangi resiko berbagai masalah lingkungan yang dapat terjadi selama proses budidaya kelapa sawit juga perlu diperhatikan sebagai langkah inovatif yang menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Para pihak ikut dalam membangun jaringan yang menghubungkan petani, produsen, dan konsumen untuk bertukar informasi tentang praktik budidaya kelapa sawit berkelanjutan. Serta peningkatan kompetensi dan pengetahuan para petani, produsen, dan konsumen dalam mendukung sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan dan peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan kontrol dalam produksi kelapa sawit. Peran pemerhati lingkungan dalam pemberdayaan atau pendampingan kepada petani swadaya agar dapat mewujudkan sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan.
Referensi
AURIGA. 2020. “Identifikasi Sawit Rakyat Dengan Citra Satelit.” September
Budi Darsono, Suseno, Ari Susanti, Annelies Zoomers, and Others. 2013. “Oil Palm Plantations in Indonesia: The Implications for Migration, Settlement/resettlement and Local Economic Development.” Biofuels-Economy, Environment and Sustainability, 173–93.
Ditjenbun. 2021. “Kebijakan Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia Dalam Sosialisasi Perpres 44/2020 Dan Permentan 38/2020 Tentang ISPO.” April 22.
Kementerian Perdagangan. 2014. Profil Ekonomi. Diakses dari, http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/10-main-and-potential-commodities/10- main-commodities (terakhir diakses pada 05 April 2023)
Kementan. 2020. “Statistik Perkebunan Unggulan 2019-2021.” Kementerian Pertanian
Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
Rist, Lucy, Laurène Feintrenie, and Patrice Levang. 2010. “The Livelihood Impacts of Oil Palm: Smallholders in Indonesia.” Biodiversity and Conservation. 19 (4): 1009–24.
RSPO. 2021. “Certified Independent Smallholders (ISH).” RSPO. 2021. https://www.rspo.org/certification/searchfor-certified-independent-smallholders