Oleh : Dewi Maya Sari – Peneliti SIAR
Thrifting merupakan sebuah kegiatan membeli barang bekas terutama pakaian dengan salah satu tujuan membantu mengurangi pencemaran lingkungan yang dihasilkan oleh kegiatan fast fashion serta dapat membantu untuk berhemat membeli pakaian baru. Trend thrifting atau gaya hidup mengumpulkan barang bekas atau second-hand goods kini semakin populer di kalangan masyarakat. Aktivitas ini dapat dikatakan menjadi solusi bagi mereka yang ingin berbelanja dengan hemat, ramah lingkungan, serta memberikan kesempatan kedua pada barang yang masih bisa digunakan.
Trend thrifting atau trend membeli barang bekas bukanlah hal yang baru dalam dunia fashion. Pada era 1800-an, orang sering memakai pakaian bekas yang diwariskan dari keluarga atau diperoleh dari pasar barang bekas. Namun, pada awal abad ke-20, trend fashion mengalami perubahan ketika pakaian yang dibuat secara massal mulai tersedia dan konsumen mulai memilih untuk membeli pakaian baru. Juga pada tahun 1960-an dan 1970-an, thrifting kembali populer di kalangan generasi muda Amerika Serikat. Hal ini dipicu oleh gerakan anti-perang dan anti-kapitalisme yang mendorong orang untuk mencari alternatif gaya hidup yang berbeda dari mainstream. Mereka mulai berbelanja di pasar barang bekas dan menjadikan fashion bekas sebagai bentuk protes terhadap kapitalisme dan konsumerisme. Sejak itu, trend thrifting terus berkembang dan menyebar ke seluruh dunia. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kesadaran lingkungan dan ekonomi. Banyak orang yang mulai sadar akan dampak negatif produksi massal terhadap lingkungan dan mencari alternatif untuk berbelanja yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, harga pakaian baru yang semakin mahal juga membuat banyak orang memilih untuk berbelanja di pasar barang bekas sebagai alternatif yang lebih terjangkau.
Namun, trend ini dianggap sebagai pencemaran pakaian bekas dari luar yang masuk dan meramaikan kontestasi polusi dalam negeri. Salah satu alasan mengapa thrifting bisa menjadi polusi dikarenakan meningkatnya permintaan terhadap barang bekas dapat memicu peningkatan produksi barang baru di luar negeri, yang memerlukan energi dan sumber daya yang lebih banyak. Selain itu, beberapa orang bahkan membeli barang-barang bekas tersebut hanya untuk sekedar kepuasan estetika atau sebagai barang koleksi, sehingga tidak benar-benar memperhatikan dampak lingkungan dari kegiatan tersebut. Opini dan fakta lapangan juga menyebutkan bahwa trend ini menjadi momok menakutkan bagi industri tekstil dalam negeri dan perekonomian nasional.
Hal ini terlihat dari data dari Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC), perkiraan nilai seluruh barang hasil penindakan (BHP) berupa pakaian bekas impor ilegal sepanjang 2022 mencapai Rp23,91 miliar. Angka perkiraan BHP Rp23,91 miliar tersebut didapat dari 220 penindakan ballpress. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 165 penindakan dengan perkiraan nilai BHP sebesar Rp17,42 miliar.
Presiden sendiri saat ini mengungkapkan bahwasanya thrifting telah merusak pasar tekstil dalam negeri serta melarang impor pakaian bekas yang notabene dapat mengganggu industri tekstil di tanah air. Sehingga bisnis impor pakaian bekas ini seharusnya ditelusuri dan ditindak. Larangan soal thrift ini sendiri sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Hal ini tertera pada Pasal 2 ayat 3 yang tertulis bahwa barang dilarang impor, salah satunya adalah berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas. Produk barang bekas hasil impor dari negara lain atau produk thrifting, seharusnya tidak bisa beredar di Indonesia lantaran termasuk dalam importasi ilegal.
Penutupan keran thrifting dalam negeri sendiri mendapat banyak sorotan dari masyarakat yang berbeda interpretasi dengan pemerintah, seperti yang dikatakan Hanung, “Alasannya banyak hal masalah kesehatan, masalah lingkungan dan sebagainya, jadi bisa penyakit dari luar bisa diimpor ke Indonesia,”
Anggota DPR RI Adian Napitupulu “Saya dilantik menjadi anggota DPR dengan jas bekas yang dibeli di Gedebage,” adian mengomentari soal larangan baju bekas impor. Pasar Gedebage dikenal sebagai sentra penjualan baju impor bekas di Kota Bandung. Sebagai pecinta baju thrifting, Adian mengaku bingung di mana letak salahnya dari bisnis tersebut. “Kalau misalnya ada masalah pajak, ya, tagih pajak,”. Adian lantas meminta agar kinerja Menteri Perdagangan (Mendag) serta Menteri Koperasi dan UMKM dievaluasi daripada melarang thrifting. “Yang dibutuhkan memaksimalkan peran, misalnya memaksimalkan peran Menteri Perdagangan, memaksimalkan peran Menteri UMKM. Peran mereka saja yang dievaluasi. Misalnya pakaian celana, bikin dong yang up to date. UMKM bina dong, didik dong segala macam. Sudah semaksimal apa sih mereka membina itu,”.
Rasanya tidak salah pendapat dari berbagai masyarakat di Indonesia yang melakukan penolakan akan aturan penghentian impor barang bekas luar negeri dengan berbagai alasan, tren ini sendiri dapat menjadi sebuah solusi jika diselaraskan para pelaku thrifting yang perlu memperhatikan kualitas barang yang dijual serta mempromosikan penggunaan barang bekas sebagai alternatif dari membeli barang baru. Pemerintah dan masyarakat juga perlu lebih memperhatikan keseimbangan antara keuntungan dan dampak negatif dari kegiatan thrifting. Jika dijalankan dengan tepat, trend thrifting dapat menjadi solusi bagi masalah konsumsi berlebihan dan polusi lingkungan. Namun jika dibiarkan tanpa pengawasan yang baik, trend thrifting dapat menjadi polusi baru bagi lingkungan dan kesehatan manusia.
Hal lain yang dapat mendukung pernyataan dan penolakan dari masyarakat seperti thrifting bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap produk tekstil dalam negeri. Ada banyak faktor lain, seperti kondisi ekonomi, persaingan dengan produk impor, dan perubahan gaya hidup masyarakat yang juga mempengaruhi permintaan terhadap produk tekstil dalam negeri. Kedua, thrifting sebenarnya dapat memberikan dampak positif bagi pasar tekstil dalam negeri. Dalam beberapa kasus, thrifting dapat meningkatkan permintaan terhadap produk tekstil dalam negeri. Misalnya, jika seseorang membeli pakaian bekas dan memodifikasinya menjadi sesuatu yang baru, mereka dapat membutuhkan bahan tambahan yang hanya tersedia di pasar lokal, sehingga meningkatkan permintaan terhadap produk tekstil dalam negeri. Ketiga, thrifting sebenarnya dapat membantu mengurangi limbah tekstil. Dengan membeli pakaian bekas, konsumen dapat mencegah pakaian tersebut berakhir di tempat pembuangan sampah, sehingga mengurangi jumlah limbah tekstil yang dihasilkan. Hal ini tentunya dapat berdampak positif pada lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Secara keseluruhan, ada banyak faktor yang mempengaruhi pasar tekstil dalam negeri, dan thrifting bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhinya. Bahkan, thrifting dapat memberikan dampak positif bagi pasar tekstil dalam negeri. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian lebih lanjut dan analisis yang lebih cermat mengenai pengaruh thrifting terhadap pasar tekstil dalam negeri.
Sementara ini thrifting dapat dianggap sebagai solusi bagi permasalahan lingkungan, namun harus ada kesadaran bahwa thrifting juga dapat menjadi polusi jika tidak dilakukan dengan benar. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membeli dengan bijak dan hanya membeli barang bekas yang benar-benar diperlukan serta memastikan bahwa kita mendukung sepenuhnya industri tekstil dalam negeri. Mengenai perdebatan apakah trend thrifting dapat merusak pasar tekstil dalam negeri yang masih terus berlangsung seharusnya didukung oleh kajian lebih dalam mengenai dampak dari trend ini sehingga semua stakeholders dapat menemukan jalan keluar dari berbagai hipotesis yang berkembang saat ini.