Kerusakan lingkungan memiliki dampak yang signifikan pada kehidupan manusia dan planet secara keseluruhan. Menurut data dari Global Forest Watch, Indonesia kehilangan 10.1 juta ha hutan primer basah antara tahun 2001-2021, penyebab deforestasi di Indonesia diantaranya adalah pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit, industri kayu, perluasan lahan pertanian masyarakat, dan pertambangan. Kerusakan lingkungan yang terjadi sangat erat kaitannya dengan kegiatan ekonomi dari masyarakat kecil hingga perusahaan besar.
Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian harus berpijak pada prinsip-prinsip sosial yang mengutamakan kepentingan masyarakat dan lingkungan, bukan hanya keuntungan semata.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendorong kebijakan perbankan dan lembaga pemberi pendanaan untuk menyalurkan kredit kepada proyek yang ramah lingkungan. OJK sebagai pengawas aktivitas perbankan telah menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51 Tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan (LJKJ, Emiten, Dan Perusahaan Publik. Bentuk pengawasan OJK terhadap pemberian kredit yang berwawasan lingkungan oleh perbankan yaitu dengan memerintahkan seluruh aktifitas LJK untuk menetapkan sistem keuangan berkelanjutan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) POJK 51 Tahun 2017 yang menentukan bahwa LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik wajib menerapkan Keuangan Berkelanjutan dalam kegiatan usaha LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik yang mana keuangan berkelanjutan didefinisikan sebagai dukungan menyeluruh dari sektor jasa keuangan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Penerapan keuangan berkelanjutan ini pada LJK dalam hal ini bank sebagai lembaga yang memberikan kredit ini direpresentasikan dengan dibuatnya rencana aksi keuangan berkelanjutan yang wajib dilaporkan kepada OJK tiap tahunnya (Nursyamsi, 2018). Selain itu untuk mendorong kepatuhan pengusaha atau pelaku kegiatan terhadap peraturan lingkungan hidup, KLHK mengembangkan PROPER (Public Disclosure Program for Environmental Compliance) sebagai salah satu alat kebijakan. PROPER dirancang sebagai instrumen informasi yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam rangka mendorong penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
Pada Desember 2022, Pantau Gambut bersama Transformasi untuk Keadilan (TuK) melakukan kajian terhadap investasi yang diberikan Bank Rakyat Indonesia (BRI) kepada 15 grup perusahaan sawit, bubur kertas, dan kertas. Hasil riset menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut diduga telah melakukan pelanggaran komitmen perlindungan gambut, dan BRI telah menyalurkan total USD 4,21 miliar pembiayaan yang berisiko terhadap kerusakan ekosistem gambut. Enam perusahaan terbukti melakukan pelanggaran komitmen perlindungan gambut. Langkah pengawasan yang lebih ketat dan perlindungan terhadap gambut menjadi sangat penting untuk mengatasi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh praktik-praktik yang tidak bertanggung jawab dalam industri perkebunan. Pantau Gambut juga melakukan penilaian independen terhadap kriteria ESG (Environmental, Social, and Governance) dengan menggunakan alat forestsandfinance. Hasil penilaian menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan klaim BRI dalam laporan keberlanjutannya, dimana kebijakan ESG BRI pada komoditas bubur kertas dan kertas sangat memprihatinkan, sedangkan komoditas kelapa sawit memperoleh skor medium.
Tidak hanya itu, koalisi Forests & Finance juga menemukan 90% bank-bank dari negara G20 telah mendanai kerusakan hutan dan pelanggaran HAM di Indonesia. Diantaranya terdapat 36 bank di Indonesia yang terlibat dalam kejahatan lingkungan dimana Bank BUMN yaitu Mandiri, BNI, dan BRI memiliki nilai pendanaan yang tinggi kepada perusahaan-perusahaan yang masih melakukan pelanggaran dalam keberlanjutan lingkungan.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, OJK telah memberikan kebijakan kepada bank dan lembaga pemberi pendanaan untuk memberikan kredit pada proyek-proyek yang berorientasi pada keberlanjutan lingkungan. Sanksi yang bisa didapatkan jika bank melanggar regulasi dengan memberikan kredit kepada perusahaan yang merusak lingkungan dapat berupa peringatan, teguran, denda, pencabutan izin usaha, atau tindakan hukum lainnya yang dianggap perlu oleh OJK. Selain itu, bank yang memberikan kredit kepada perusahaan yang merusak lingkungan juga berisiko kehilangan reputasi dan kepercayaan nasabah dan investor, yang dapat berdampak pada kinerja keuangan bank tersebut di masa depan.
Ekonomi Indonesia harus mampu mengembangkan diri secara berkelanjutan, dengan memperhatikan faktor-faktor lingkungan, agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh rakyat Indonesia dan melindungi lingkungan hidup secara bersamaan. Sebagai langkah tindak lanjut dalam hal ini lembaga pemberi modal haruslah melakukan penilaian prospek usaha debitur, khususnya debitur berskala besar dan/atau beresiko tinggi dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan hidup yang dibuktikan dengan AMDAL, seperti memasukan sejumlah klausul pencegahan kerusakan lingkungan yang harus dilakukan oleh debitur dalam menjalankan setiap usahanya.
https://www.menlhk.go.id/site/single_post/5206
https://kaoemtelapak.org/?p=20140&lang=id