SIAR-uji tuntas produk hasil hutan bebas deforestasi dan degradasi lahan merupakan sebuah langkah penting dalam memastikan bahwa produk yang dihasilkan dari hutan tidak merusak lingkungan dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Hal ini menjadi semakin penting mengingat semakin banyaknya kasus deforestasi dan degradasi lahan yang terjadi di seluruh dunia.
Berlakunya aturan uji tuntas produk hasil hutan bebas deforestasi dan degradasi lahan (EUDDR) tentu saja akan memberikan dampak signifikan pada perdagangan global dan dalam negeri. EUDDR mensyaratkan 27 negara anggotanya hanya menerima enam jenis produk yaitu kayu, minyak sawit, kopi, coklat, kedelai, dan daging dari produsen yang dapat membuktikan produk tersebut bebas deforestasi. Kebijakan ini berlaku pada produk yang dihasilkan dari lahan deforestasi setelah Desember 2020. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas 3,1 juta hingga 3,2 hektare lahan perkebunan sawit berada dalam kawasan hutan. Walaupun perkebunan sawit mungkin telah ada sebelum tahun 2020 akan tetapi lokasi yang berada di kawasan hutan dan bukan lahan yang sesuai juga akan menjadi permasalahan dan penghambat pengimporan produk ke Uni Eropa. Perusahaan pengimpor harus membuktikan produk terbebas dari deforestasi dan memiliki lokasi geografis yang jelas saat pelaksanaan uji tuntas.
Berlakunya aturan ini mewajibkan perusahaan eksportir membuat pernyataan uji tuntas yang menunjukkan bahwa rantai pasokan komoditas tersebut tidak berkontribusi pada perusakan hutan. Produsen dan pedagang memiliki waktu 18 bulan untuk mematuhinya. sedangkan perusahan kecil diberi waktu 24 bulan untuk beradaptasi. Jika tidak patuh, dendanya hingga 4% dari omzet perusahaan di negara anggota Uni Eropa. Indonesia perlu mendapatkan sertifikasi produk bebas deforestasi agar ekspor ke Uni Eropa dapat terus dilakukan. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), ekspor produk sawit ke Uni Eropa pada bulan Agustus 2022 mencapai 506,8 ribu ton dari total ekspor sawit sebesar 4,33 juta ton. Sekiar 0,2 % ekspor sawit Indonesia ditujukan ke Uni Eropa dengan nilai ekspor mencapai US$ 500 juta.
Konsep jangka benah menjadi terkenal setelah masuk dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24/2021 pasal 27 ayat 4 bagian a sebagai solusi menyelesaikan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan produksi. Juga pasal 28 ayat 3 bagian 1 sebagai kegiatan usaha di dalam kawasan hutan lindung atau konservasi dengan mekanisme kerja sama atau kemitraan. Dalam penjelasan pasal 28 itu definisi jangka benah adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai struktur hutan dan fungsi ekosistem sesuai tujuan pengelolaan. PP 24/2021 mengatur tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda administratif di bidang kehutanan.
EUDDR sendiri tidak menghendaki adanya sawit dalam kawasan hutan produksi apalagi hutan lindung dan hutan konservasi. Kebun sawit yang melaksanakan proses jangka benah, jelas produksi crude palm oil (CPO) akan ditolak oleh UE dengan adanya UU bebas deforestasi ini. Menurut data KLHK, luas kebun sawit yang akan mengikuti proses jangka benah ini luasnya mencapai 1,2-1, 7 juta hektar. Pilihan terbaik yang harus dilakukan pemerintah adalah kebun sawit seluas 3,2-3,4 juta hektar yang sudah terlanjur masuk dalam kawasan hutan agar segera dimusnahkan dan dibangun kembali menjadi hutan yang berisi vegetasi kayu-kayuan tanaman hutan melalui kegiatan rehabilitasi hutan.
Menurut World Bank dan European commission, EUDDR berpotensi melindungi setidaknya sekitar 71.920 hektare hutan setiap tahunnya dan mengurangi emisi karbon global secara tahunan sebesar 31,9 juta ton per tahun. Latar belakang aturan ini dibuat dan disepakati secara politik karena keinginan negara-negara Eropa berkontribusi pada mitigasi krisis iklim. Ia mengutip data Badan Pangan Dunia (FAO) yang menyebut pada Tahun 1990-2020 terdapat 420 juta hektare hutan hilang.
Dialog EUDDR dan isu kelapa sawit dalam kawasan hutan adalah sebuah kesempatan besar bagi Indonesia untuk memperbaiki tata kelola hutan dan meningkatkan keberlanjutan produksi dan perdagangan kelapa sawit. Selain itu, dialog ini juga dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat dan mengurangi konflik yang terjadi.
Namun, untuk mencapai hasil yang optimal, perlu ada keseriusan dari semua pihak untuk berpartisipasi dalam dialog dan mencari solusi bersama. Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa kebijakan dan regulasi terkait kelapa sawit di kawasan hutan benar-benar diterapkan dan diawasi dengan ketat. Perusahaan perkebunan harus mematuhi standar keberlanjutan dalam produksi dan perdagangan kelapa sawit, dan berkomitmen untuk melindungi hak-hak masyarakat adat serta memperbaiki kondisi lingkungan.
Selain itu, masyarakat juga perlu dilibatkan secara aktif dalam dialog EUDDR dan pemecahan masalah terkait kelapa sawit di kawasan hutan. Dalam hal ini, para masyarakat adat harus diberikan hak yang sama dalam mengakses dan memanfaatkan sumber daya alam, serta dilindungi dari ancaman konflik dan kekerasan.
“Dalam kesimpulannya, EUDDR dan persoalan kelapa sawit dalam kawasan hutan merupakan isu yang kompleks dan memerlukan pendekatan yang kolaboratif dan berkelanjutan dari semua pihak terkait. Dialog yang terbuka dan transparan perlu diadakan untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan bagi semua pihak dan untuk mencapai keberlanjutan dalam produksi dan perdagangan kelapa sawit (SIAR)”