Pengelolaan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Industri perkebunan kelapa sawit selalu dikaitkan dengan praktek tidak berkelanjutan yang merusak lingkungan. Deforestasi, kebakaran hutan dan lahan, hingga pelanggaran terhadap hak masyarakat adat adalah contoh dari banyaknya masalah yang menyertai produk turunan kelapa sawit.
Dan kini, muncullah istilah kelapa sawit berkelanjutan. Hingga saat ini, definisi yang paling umum dan diterima publik adalah Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang berdiri pada 2004. Asosiasi nirlaba ini mempromosikan pengurangan deforestasi, pelestarian biodiversitas, dan penghargaan terhadap masyarakat adat di negara penghasil sawit. Aspek kerusakan lingkungan juga turut ditekankan oleh RSPO.
Pada 2011, Pemerintah Indonesia mengadopsi standar ini dengan menerbitkan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Awalnya mekanisme ini hanya bagi perusahaan. Namun peraturan terbaru dari pemerintah mewajibkan semua pekebun untuk memiliki sertifikasi ISPO.
Idealnya, pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan itu dilakukan dengan praktek-praktek ramah lingkungan. Contohnya, tidak melakukan land clearing di hutan alam, tidak menyebabkan deforestasi, tidak merusak lingkungan seperti pengeringan gambut dan seterusnya. Namun, hingga saat ini pemberitaan media maupun laporan kelompok masyarakat sipil masih menemukan adanya pelanggaran terhadap standar ini.
Implementasi mekanisme ISPO sendiri masih menemui sejumlah kendala. Skema ini dikritisi karena dianggap tidak mengadopsi standar seketat RSPO dan kurang transparan, bahkan dianggap sebagai formalitas untuk memoles image di pasar internasional.
Pekerjaan rumah pemerintah dan parapihak yang relevan memang masih banyak, kalau bicara soal pewujudan kelapa sawit berkelanjutan ini. Pertanyaannya, mulai dari mana dulu nih?