Database Sawit Rakyat Nihil, Dampaknya Apa Saja?
Ketika kita bicara tentang sawit rakyat, persoalan data selalu mengerucut. Walau pemerintah telah menetapkan luas kebun kelapa sawit yang dikelola petani swadaya di angka 5,7 juta hektare, faktanya data spasial (by name, by address) beresolusi tinggi dan berskala nasional hingga kini masih nihil.
Kondisi ini bukan tanpa konsekuensi. Ketiadaan satu data atau satu peta yang valid terhadap kebun-kebun swadaya di seluruh Indonesia salah satunya berdampak pada program peremajaan sawit rakyat (PSR). Kementerian Pertanian (2020) menyebut potensi PSR seluas 2,78 juta hektare, yang didominasi oleh kebun plasma dan swadaya seluas 2,27 juta hektare. Pemerintah sendiri menargetkan program peremajaan sawit rakyat. Program ini tentu sulit berjalan bahkan salah sasaran jika data minim.
Ketiadaan basis data juga krusial terhadap pengambilan kebijakan. Contohnya, keberadaan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan. Dikutip oleh Mongabay Indonesia, Yayasan Kehati mengungkap perkebunan sawit di dalam kawasan hutan ada di hampir seluruh provinsi Indonesia.
Analisis citra satelit dan drone yang disandingkan dengan data peta kawasan hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun memperlihatkan tutupan sawit yang berada di kawasan hutan. Klasifikasinya adalah suaka alam seluas 115.000 hektare, hutan lindung 174.000 hektare, hutan produksi terbatas 454.000 hektare, hutan produksi 1,4 juta hektare, dan hutan produksi konversi 1,2 juta hektare. Jika ditotal, luasnya mencapai 3,4 juta hektare. Dari total tersebut, 1,2 juta hektare merupakan kebun milik petani swadaya (Auriga Nusantara).
Pemerintah tidak dapat mencari solusi jika tidak melakukan identifikasi dan pemetaan sawit rakyat secara menyeluruh. Jangan sampai regulasi yang diterbitkan malah menyulitkan atau bahkan merugikan petani sawit swadaya karena salah data atau misinformasi. Bisa berabe nanti.