Penetapan Harga Jual TBS di Indonesia Belum Berpihak Pada Petani Swadaya
Penetapan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Indonesia masih tidak merata. Sebab, kebijakan yang ada saat ini baru mengatur harga di level pabrik kelapa sawit milik perusahaan. Akibatnya, petani swadaya tercekik.
Jika dikelompokkan, ada tiga macam harga berdasarkan tipe pekebun. Ada harga untuk TBS dari pekebun afiliasi pabrik pengelolaan kelapa sawit; petani plasma mitra perusahaan; dan petani swadaya. Kelompok terakhir, yang merupakan petani kecil dengan rerata luas kebun 2 hektare paling dirugikan.
Mekanisme penentuan harga TBS kelapa sawit diatur dalam Permentan No. 01/PERMENTAN/KB.120/1/2018, tanggal 2 Januari 2018 tentang pedoman penetapan harga pembelian Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi Pekebun.
Dalam beleid itu ada berbagai aspek yang dihitung di dalam rumus penetapan harga TBS, seperti harga riil rata-rata tertimbang minyak sawit kasar (CPO) dan inti sawit sesuai realisasi penjualan ekspor dan lokal masing-masing perusahaan pada periode sebelumnya. Harga TBS kelapa sawit ditetapkan minimal sekali sebulan berdasarkan dua aspek tersebut oleh dinas perkebunan setempat.
Namun yang paling penting disorot adalah harga pembelian TBS hanya merujuk pada harga franko pabrik pengolahan kelapa sawit. Akibatnya, pabrik seolah menjadi penentu dan hanya menguntungkan kebun afiliasi ataupun petani plasma yang bermitra dengan perusahaan.
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mencatat, wilayah sentra kelapa sawit seperti Pulau Kalimantan, harga rata-rata TBS yang diterima petani swadaya yang tidak bermitra dengan perusahaan berkisar Rp 800 – Rp 1.100 per kilogram. Bandingkan dengan harga TBS di kelompok petani plasma mitra perusahaan yang dihargai lebih mahal di kisaran Rp 1.500 per kilogram.
Perbedaan harga itu tentu tidak adil dan menekan petani. Salah satu akar masalahnya, pabrik membeli TBS petani swadaya melalui pengepul. Akibatnya ada ongkos yang terpotong dan tidak masuk ke kantong petani. Jika dikurangi dengan biaya produksi yang mencapai Rp 600 per kilogram, petani mendapatkan profit yang begitu tipis.
Jika kondisi ini berlanjut, petani swadaya tidak akan pernah sejahtera. Karena itu, sudah saatnya pemerintah pusat maupun daerah membuat kebijakan harga yang adil dan tidak merugikan petani swadaya.