Mengapa Harga Tandan Buah Segar Volatil?
siar.or.id Pontianak – Hingga saat ini, harga tandan buah segar (TBS) cenderung tidak stabil. Hal ini karena belum adanya skema penetapan harga yang jelas dan disetujui oleh semua pihak, termasuk petani sawit swadaya. Sering kali harga TBS berubah-ubah sehingga cenderung merugikan petani kecil.
Sebagai contoh, harga TBS periode 13-19 Januari 2021 di Provinsi Riau naik 5,69 persen menjadi Rp2.297,95 per kilogram. Kondisi ini jauh berbeda dengan tahun lalu, kala harga TBS anjlok ke angka Rp400 per kilogram akibat pandemi.
Banyak pasal yang mempengaruhi volatilitas harga TBS. Selain faktor seperti pandemi dan harga minyak mentah di pasar global, ada perkara lain terutama jika dikaitkan dengan petani sawit swadaya.
Saat ini Dinas Perkebunan setempat merupakan pihak yang menetapkan harga. Namun harga itu berlaku bagi pabrik pengolahan kelapa sawit milik perusahaan, dan tidak mencakup harga TBS yang diproduksi petani sawit swadaya.
Akibatnya, harga di rantai pasok pun tidak merata. Petani terpaksa menghadapi rantai pasok yang lebih panjang dengan menjual ke tengkulak atau perantara. Selain karena minimnya fasilitas pengangkutan ke pabrik kelapa sawit, mayoritas petani sawit rakyat dengan luas kebun di bawah 25 hektare tidak tergabung di dalam koperasi atau lembaga resmi.
Padahal, hal ini diatur di dalam Peraturan Kementerian Pertanian Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Beleid ini mengatur, perusahaan dapat membeli TBS sawit petani hanya melalui kelembagaan. Jika petani tidak termasuk di dalam sebuah lembaga, ini berarti petani tidak dapat menjual langsung hasil produksinya kepada perusahaan.
Kelembagaan juga menjadi persyaratan jika petani ingin mendapat bantuan dari pemerintah. Bantuan itu berupa pupuk bersubsidi, bibit yang bersertifikat, dan program peremajaan sawit rakyat. Tiga hal ini secara langsung berhubungan dengan harga TBS milik petani sawit karena berhubungan dengan produktivitas dan kualitas produksi. Terakhir, kelembagaan juga wajib jika petani sawit swadaya ingin mendapatkan sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) agar dapat berdaya saing meningkatkan kesejahteraan petani itu sendiri.