Peluang dan Tantangan Harga TBS Petani Sawit Swadaya di Indonesia
siar.or.id Pontianak – Luas perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh petani kecil—disebut dengan petani sawit swadaya—di Indonesia mencapai 5,8 juta hektare. Angka itu setara dengan 41 persen dari total luas perkebunan nasional. Meski begitu, petani sawit swadaya masih mengalami berbagai masalah. Salah satunya, harga tandan buah segar (TBS) yang rendah.
Hal itu disebabkan oleh lemahnya posisi tawar petani lantaran harga TBS mengikuti ketetapan pabrik pengolahan sawit. Akibatnya, petani terpaksa menjual ke tengkulak. Pada 2017, Serikat Petani Kelapa Sawit menyurvei 10 ribu petani sawit swadaya di Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara. Hasilnya, 73% responden memilih menjual ke tengkulak. Seringkali, hasil penjualan ke tengkulak begitu murah sehingga hanya cukup menutup ongkos produksi dan upah pemanen, dan menyisakan nominal sedikit untuk kehidupan sehari-hari. Jika kondisi berlanjut, petani sawit swadaya tidak akan pernah sejahtera, apalagi meningkatkan produktivitas kebunnya.
Kondisi ini berpeluang berubah dengan adanya skema registrasi Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan untuk Budidaya (STDB) yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 99/OT.140/0/2013 terkait budidaya pekebun sawit. Skema ini berlaku bagi petani dengan luas kebun di bawah 25 hektare.
Ada beberapa alasan mengapa STDB menguntungkan petani. Skema ini mendorong peningkatan mutu kelapa sawit karena menjamin legalitas administrasi kebun sawit rakyat. Selain itu, STDB juga mengatur posisi lahan, kualitas bibit, pemeliharaan hingga hasil panen. Apabila telah terdaftar, petani dapat menjual TBS ke pabrik perusahaan pemegang sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Sertifikat ISPO mengikuti standar yang ditetapkan oleh Roundtable Sustainable Palm Oil. Peraturan termutakhir dari pemerintah, yang tertuang dalam Perpres Nomor 44 Tahun 2020 tentang ISPO, mewajibkan semua tipe perkebunan kelapa sawit, termasuk pekebun kecil, mengantongi sertifikat ini. Dokumen ini seolah menjadi penanda sawit ramah lingkungan dan tidak merusak hutan.
Salah satu syarat untuk mendapatkan sertifikat ISPO, pekebun harus memiliki legalitas lahan yang jelas. Sementara saat ini sebagian besar kebun sawit swadaya berada di dalam kawasan hutan. Sisanya, walau di luar kawasan hutan, masih menghadapi berbagai kompleksitas, seperti tidak adanya jaminan lahan bebas konflik, dokumen kepemilikan tidak memadai, dan kemungkinan tumpang susun dengan penggunaan lain (Auriga, 2019). Kondisi ini tentu menyulitkan bagi petani sawit swadaya.
Pemerintah mewajibkan agar semua pekebun memilikinya lima tahun ke depan. Namun, dengan kompleksitas yang dihadapi petani sawit swadaya, butuh lebih dari sekedar peraturan untuk mencapai nama sawit berkelanjutan. Pemerintah harus mengakomodir dan mencari solusi agar petani sawit swadaya di Indonesia dapat sejahtera.