Oleh: Muhardi Juliansyah – Peneliti SIAR
Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim ke-28 (COP 28) di mana pemimpin global berkumpul untuk membahas langkah-langkah dalam mengatasi krisis iklim yang semakin memburuk. Seiring berjalannya waktu, tuntutan untuk menagih janji-janji yang telah dibuat sebelumnya pada COP sebelumnya menjadi semakin mendesak. 4 topik yang akan dibahas dalam COP 28 diantaranya mengenai Transisi Energi dimana perhatian tertuju pada bahasa yang akan diadopsi oleh para pemimpin mengenai transisi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Transisi energi ini merupakan hal penting untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius seperti yang tercantum dalam Perjanjian Paris.
Dalam COP26 di Glasgow pada tahun 2021, negara-negara sepakat untuk melakukan penghentian bertahap dari tenaga batubara yang tidak berkelanjutan. Sejak saat itu, momentum telah terbangun di kalangan pemerintah dan aktivis untuk memperluas gagasan serupa mengenai minyak dan gas, meskipun ungkapan yang tepat masih harus diselesaikan, mengutip AFP. Idealnya, komitmen tersebut harus diwujudkan dalam bentuk tanggapan resmi terhadap “Global Stocktake,” sebuah laporan yang diterbitkan pada bulan September dan menyoroti betapa sedikitnya upaya yang dilakukan dunia untuk menghadapi krisis ini. Hal lain yang menarik pada COP 28 kali ini adalah mengenai kompensasi dan denda dalam COP sebelumnya.
Kompensasi dan denda Perhelatan COP27 yang digelar di Sharm El-Sheikh, Mesir, tahun lalu sepakat untuk memberikan kompensasi kepada negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim, yang paling tidak bertanggung jawab atas emisi gas rumah kaca dan menghadapi dampak cuaca buruk yang semakin parah. Namun mengoperasionalkan dana baru terbukti rumit, dengan negosiasi yang berlarut-larut selama lebih dari setahun. Belum ada kepastian terkait negara yang menjadi donatur dan negara penerima pendanaan atas kesenjangan iklim tersebut.
Bicara kesenjangan pendanaan iklim seperti yang dikatakan para ahli bahwa untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut membutuhkan sekitar 46 kuadriliun yang dialirkan setiap tahun pada tahun 2023 guna menjaga tujuan iklim tetap berjalan namun sejauh ini negara-negara berkembang masih gagal, baik dalam hal mempercepat dekarbonisasi, yang dikenal sebagai mitigasi, dan membangun ketahanan terhadap dampak iklim, yang dikenal sebagai adaptasi. Pada tahun 2009, negara-negara kaya berjanji untuk mencapai $100 miliar (Rp1,5 kuadriliun) per tahun dalam pendanaan untuk prioritas-prioritas ini pada tahun 2020, sebuah tujuan yang akhirnya tercapai tahun lalu.
COP 28 diperkirakan akan meletakkan dasar bagi tujuan pendanaan baru untuk menyukseskan target lama sebesar US$100 miliar, meskipun para pihak tidak diharuskan untuk mengambil keputusan tahun ini. Hal ini juga dapat memberikan peluang untuk mendefinisikan dan mengoperasionalkan klausul 2.1(c) pada Perjanjian Paris dengan lebih baik, yang menyerukan perancangan aliran pendanaan konsisten dan mendetail dengan jalur menuju emisi gas rumah kaca (GRK) yang rendah dan pembangunan yang berketahanan iklim.
Perhelatan kali ini juga membahas sistem pangan dan metana, dimana para pihak harus bertanggung jawab atas sepertiga gas rumah kaca buatan manusia, dengan cuaca buruk dan kekeringan yang juga mengancam produksi dan transportasi pangan. Metana di atmosfer merupakan penyumbang terbesar kedua terhadap perubahan iklim, namun hanya mendapat sedikit perhatian dibandingkan dengan karbon dioksida, meskipun dampak pemanasannya sangat besar. Tahun 2021, China, Amerika Serikat, dan UEA akan bersama-sama mengadakan pertemuan puncak gas rumah kaca metana dan non-CO2 dalam perundingan tersebut diasumsikan akan memperkuat “Ikrar Metana Global” untuk mengurangi emisi sebesar 30% pada tahun 2030. Beberapa topik pembahasan tersebut tentu menjadi tugas berat untuk banyak negara, apalagi pada COP sebelumnya masih menyisakan pekerjaan rumah yang dapat dikatakan belum selesai.
Janji-janji di COP Sebelumnya
Setiap COP diwarnai oleh komitmen dan janji-janji dari berbagai negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, melindungi lingkungan, dan mendukung adaptasi terhadap perubahan iklim. Namun, seringkali janji-janji ini hanya menjadi retorika tanpa tindakan nyata. Sebagai contoh, kesepakatan Paris pada COP 21 menetapkan target global untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celcius, tetapi banyak negara masih jauh dari mencapai target ini. Selama ini, salah satu upaya umum yang dilakukan untuk memecahkan permasalahan iklim adalah melalui sistem pembiayaan seperti perdagangan karbon yang bergulir antara negara maju dengan negara berkembang.
Akan tetapi rencana tersebut bukanlah seenak membalikan telapak tangan, beberapa topik utama dalam setiap pembahasan COP acap kali menemui jalan buntu setelah pertemuan tersebut selesai. Batalnya perjanjian REDD+ (Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and, Forest Degradation) yang terjalin antara Norwegia dan Indonesia merupakan contoh kecil bahwa COP hanya ajang mengumbar sejumlah janji. Dalam perjanjian tersebut, terdapat kesepakatan bahwa Norwegia setuju mengucurkan dana senilai 1 miliar dolar AS jika Indonesia berhasil memiliki hutan hujan tropis yang mampu mengurangi meningkatnya emisi akibat deforestasi. Namun, tidak terpenuhinya kewajiban Norwegia yang tak kunjung membayar pembiayaan tersebut membuat Indonesia secara resmi memutuskan perjanjian kerja sama yang terjalin.
Kegagalan lainnya, yaitu pada COP 15 yang berlangsung di Kopenhagen, Denmark, para negara maju sepakat untuk menyalurkan 100 miliar dolar AS per tahun untuk pembiayaan pencegahan krisis iklim di negara-negara berkembang, tetapi pada COP 26 kemarin akhirnya terkonfirmasi bahwa komitmen tersebut gagal terpenuhi lewat sebuah pernyataan tertulis dengan tajuk “dengan penyesalan yang mendalam”. Dalam pernyataan tersebut, lebih detail diketahui bahwa selama ini dana yang tersalur per tahunnya baru mencapai angka 80 miliar dolar AS, itu pun disertai fakta bahwa ternyata hanya seperempat bagian dari dana tersebut yang tersalur ke program yang berupaya untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Tagih Menagih Janji
Indonesia tagih janji pendanaan iklim pada COP 28, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan implementasi aksi mitigasi iklim perlu keterlibatan seluruh pihak dari berbagai kelompok masyarakat. Ia menegaskan akses pendanaan iklim menjadi paling krusial dibahas dalam COP 28 tahun ini. Pentingnya pemenuhan janji dukungan pendanaan dan spirit leading by example dari Indonesia,” kata Siti di Dubai, UEA, Rabu (29/11/2023). Siti menilai, perhelatan COP 28 kali ini menjadi penting karena seluruh pihak akan menjelaskan implementasi dan langkah mitigasi iklim. Negara-negara juga akan melakukan merumuskan pendanaan iklim yang lebih aksesibel. World Bank menyatakan kerugian akibat krisis iklim mencapai 8.680 triliun yang mengakibatkan peningkatan angka kemiskinan hingga 100 juta jiwa setiap tahun.
Dampak akibat kerugian atas krisis iklim lebih parah kepada negara berkembang, yang mana negara tersebut tidak memiliki dana dan sarana/prasarana untuk menghadapi berbagai bencana. Seperti Pakistan dan puluhan negara berkembang lainnya di seluruh dunia kesulitan beradaptasi dengan dampak-dampak perubahan iklim. Blok yang saat ini diketuai Ghana itu dibentuk pada tahun 2009 dan mengumpulkan 48 negara berkembang yang paling rentan perubahan iklim di dunia, dengan total populasi mencapai 1,2 miliar jiwa, namun hanya menyumbang lima persen emisi global dunia. Banyak di antaranya yang meminta negara-negara kaya penghasil emisi tinggi untuk membantu membayar ongkos penanggulangan dampak perubahan iklim. Organisasi Meteorologi Dunia PBB (WMO) memperingatkan bahwa negara-negara kepulauan dan pesisir Afrika – beserta 116 juta penduduk yang tinggal di sana – akan sangat terdampak kenaikan permukaan laut dan akan menghabiskan anggaran sekitar $50 miliar (sekitar Rp741 triliun) pada tahun 2050. WMO juga mengatakan bahwa kekeringan yang diperparah oleh perubahan iklim selama 50 tahun terakhir di selatan dan wilayah Tanduk Afrika telah merenggut nyawa lebih dari setengah juta orang, dengan kerugian yang diperkirakan mencapai $70 miliar (sekitar Rp1.038 triliun). Lebih dari 1.000 peristiwa banjir selama kurun waktu tersebut telah merenggut 20.000 jiwa.
Pentingnya tagih menagih janji pada COP 28 tidak hanya sekadar memperingatkan negara-negara yang belum memenuhi kewajibannya, tetapi juga menciptakan akuntabilitas global. Perubahan iklim tidak mengenal batas wilayah, dan dampaknya dirasakan oleh seluruh planet. Oleh karena itu, setiap negara harus bertanggung jawab atas janji-janjinya demi menciptakan masa depan yang berkelanjutan. Dalam tagih menagih janji, penting untuk menyoroti dampak yang mungkin terlupakan. Seringkali, fokus terlalu banyak pada pengurangan emisi, sementara aspek lain seperti adaptasi dan bantuan finansial kepada negara-negara berkembang untuk menghadapi dampak perubahan iklim sering kali diabaikan. COP 28 harus mengingatkan negara-negara terkaya tentang komitmen mereka untuk mendukung negara-negara yang paling rentan.
Peran Masyarakat dan Swasta
Tagih menagih janji bukanlah tanggung jawab eksklusif pemerintah. Masyarakat sipil dan sektor swasta juga memiliki peran penting dalam mendorong implementasi janji-janji tersebut. Pengusaha, aktivis, dan masyarakat umum dapat memainkan peran kunci dalam mendukung langkah-langkah konkrit dan memastikan bahwa janji yang dibuat pada COP 28 tidak hanya sekadar retorika tanpa tindakan. COP 28 adalah panggung penting bagi dunia untuk menagih janji dan menegaskan kembali komitmen global terhadap keberlanjutan. Dengan meningkatnya krisis iklim, tagih menagih janji bukanlah pilihan, tetapi suatu keharusan. Dunia ini perlu tindakan nyata, bukan janji kosong, untuk menjaga bumi kita tetap layak huni bagi generasi mendatang. Oleh karena itu, pada ulang tahun yang pertama COP 28, mari bersama-sama memastikan bahwa janji-janji tersebut bukan hanya kata-kata di atas kertas, melainkan landasan bagi perubahan positif menuju masa depan yang berkelanjutan.
Referensi
- Goodnewsfromindonesia.id, 14 November 2021, COP26, Kegagalan Negara Maju Penuhi Kesepakatan dan Dilema Berakhirnya Era Batu Bara, 30 November 2023, https://www.goodnewsfromindonesia.id/2021/11/14/cop26-kegagalan-negara-maju-penuhi-kesepakatan-dan-dilema-berakhirnya-era-batu-bara.
- CNN Indonesia.com 30 November 2023, COP 28 digelar hari ini, 4 masalah iklim jadi sorotan, 30 November 2023, https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20231130111503-641-1030931/cop-28-digelar-hari-ini-4-masalah-iklim-jadi-sorotan.
- https://www.voaindonesia.com/a/negara-berkembang-terdampak-perubahan-iklim-pbb-desak-negara-maju-ganti-rugi/6739251.html