Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No. 40 Tahun 2023 mengenai Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel). Bioetanol adalah jenis bahan bakar terbarukan yang dihasilkan melalui proses fermentasi bahan-bahan organik. Bioetanol juga salah satu bentuk energi terbaharui yang dapat diproduksi dari tanaman-tanaman yang umum, misalnya tebu, jagung, dan singkong. Bioetanol dihasilkan dari fermentasi glukosa (gula) menggunakan bantuan ragi/yeast terutama jenis saccharomyces cerevisiae. Pemisahan bioetanol selanjutnya dilakukan dengan destilasi (Khaidir dkk, 2012). Jenis bioetanol ini dapat digunakan secara langsung maupun tidak langsung sebagai bahan bakar.
Menurut Departemen Energi Amerika Serikat, biofuel seperti etanol menghasilkan karbon dioksida hingga 48 persen lebih sedikit daripada bensin konvensional. Hal ini dapat menjadi pilihan yang jauh lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Kemungkinan bahan bakar fosil pun tidak akan dimanfaatkan kembali karena dampak kerusakan lingkungan salah satunya krisis iklim yang diakibatkannya, dengan menuju transisi energi bersih yang lebih terbarukan, meninggalkan energi fosil dengan beralih memanfaatkan biofuel yang dinilai cukup realistis. Pengembangan bioetanol sebagai campuran bahan bakar minyak menjadi hal yang menarik industri bioenergi. Hal ini karena bensin atau premium yang akan disubstitusi merupakan BBM peringkat kedua terbesar penggunaannya setelah minyak solar dengan kebutuhan yang terus meningkat dari tahun ke tahun, kebutuhan bensin (premium) diperkirakan akan mencapai 36,75 juta kilo liter pada tahun 2015, 45,5 juta kilo liter tahun 2020 dan 54,3 juta kilo liter tahun 2025 (Kementerian ESDM, 2008). Angka proyeksi kebutuhan bahan bakar bensin tersebut akan diikuti dengan kebutuhan bioetanol sebagai bahan substitusi bensin yang jika hanya pencampuran 10 % saja (E10) akan dibutuhkan pasokan bioetanol sebesar 3,68 juta kilo liter pada tahun 2015 dan 4,82 juta kilo liter pada tahun 2020.
Indonesia memiliki 60 jenis tanaman yang berpotensi menjadi sumber energi BBN. Bioetanol dapat dihasilkan dari bahan bergula (molasses, aren dan nira lain), bahan berpati (singkong, jagung, sagu, dan jenis umbi lainnya), dan bahan berserat (lignoselulosa). Pada saat ini Pemerintah Indonesia masih memfokuskan pengembangan bioetanol dari bahan baku singkong dengan tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan bahan baku lainnya yang lebih murah dan mudah didapatkan tanpa bersaing dengan bahan pangan maupun pakan (Jhiro Ch. Mailool, 2012). Singkong sebagai bahan baku yang banyak ditemui di Indonesia memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi bioetanol seperti penelitian yang dilakukan oleh Jhiro Ch. Mailool dkk (2012) yang menghasilkan bioetanol dari singkong dengan sistem produksi sederhana berskala laboratorium.
Selain singkong, bioetanol dapat diperoleh dari tebu (molasses) dengan proses pengenceran tebu, penambahan urea dan NPK, penambahan ragi, fermentasi dan distilasi (dehidrasi). Tetes tebu (molases) sebagai bahan baku bioetanol dapat dikembangkan oleh berbagai pihak seperti pemodal besar maupun industri rumah tangga (home industry) dikarenakan tetes tebu (molasses) mudah didapat dari pabrik-pabrik gula. Bioetanol memiliki angka oktan atau RON (Research Octane Number) yang lebih tinggi dibandingkan dengan bensin, sehingga pembakaran lebih sempurna yang berdampak pada semakin meningkatnya daya yang dihasilkan oleh engine (Purba, 2020). Jagung juga menjadi salah satu bahan baku yang dapat digunakan untuk pembuatan bioetanol, Dari penelitian Khaira dkk (2015) menyebutkan disimpulkan bahwa bioetanol dapat diproduksi dari bahan baku limbah tongkol jagung dengan proses sakarifikasi dan fermentasi serentak menggunakan enzim selulase kasar serta yeast Saccharomyces cerevisiae.
Mengingat manfaatnya maka bioetanol sangat potensial membuka ruang pertanian di Indonesia dalam upaya menghasilkan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan dengan mengoptimalkan potensi ruang petani untuk kebutuhan bioetanol dan terus dikembangkan baik skala industri besar maupun UMKM dan home industry. Kita dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan mendorong keberlanjutan pertanian serta ekonomi pedesaan. Menilik pada potensi negara Indonesia yang besar terutama untuk ketersediaan bahan baku, sudah sepantasnya negara Indonesia berani memproklamirkan diri sebagai negara lumbung bioenergi dunia.
Berbagai tantangan kedepannya dalam pengembangan bioenergi ini, terutama pada aspek modal/investasi, perangkat hukum, pengembangan teknologi, permasalahan hambatan sosial, dan keterbatasan pasar dan pengguna, hendaknya menjadi komitmen dan tanggung jawab bersama pemerintah, masyarakat, dan pihak-pihak terkait untuk mencari solusinya. Diharapkan dalam beberapa dekade ke depan, Indonesia dapat menjadi macan dunia dalam bidang energi. Dalam mencapai harapan tersebut, harus disadari bahwa keberhasilan tidak datang dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil kerja keras dari semua pihak/stakeholders.
Referensi :
https://pse.ugm.ac.id/bioetanol-sekala-umkm-dan-home-industry
https://madaniberkelanjutan.id