Moratorium sawit : Implementasi dan harapan keberlanjutannya
Pada 19 September 2018, Presiden Joko Widodo menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit serta Peningkatan Produktivitas Sawit (Moratorium sawit). Aturan ini lahir berkat kerja-kerja para pihak dalam mendorong penerbitan moratorium untuk pembenahan tata kelola sektor perkebunan di Indonesia.
Pemerintah menegaskan moratorium berlaku selama tiga tahun, hingga 19 September 2021. Selama periode berlakunya, Presiden menginstruksikan kementerian-kementerian terkait untuk menghentikan penerbitan perizinan, melakukan evaluasi perizinan, evaluasi pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan, menyelesaikan permasalahan sawit dalam kawasan hutan, penegakan hukum dan optimalisasi produktivitas perkebunan sawit tanpa ekspansi.
Meskipun demikian, aturan tersebut masih memiliki kelemahan. Kajian Greenpeace Indonesia menyebut bahwa moratorium tidak dapat mencegah alokasi konsesi baru pada jutaan hektare hutan alam di wilayah alokasi penggunaan lain (APL) yang dikendalikan oleh pemerintah daerah.
Moratorium sawit juga tidak mampu mencegah praktik penggundulan hutan dan pengembangan lahan gambut di dalam konsesi kelapa sawit yang dilakukan perusahaan. Selain itu, sifatnya yang tidak mengikat secara hukum pada lembaga pemerintah atau pejabat setempat berimplikasi pada ketiadaan sanksi bagi pihak yang tidak patuh.
Perkembangan moratorium sawit di Indonesia
Salah satu capaian selama implementasi moratorium adalah terwujudnya konsolidasi data dan penyelesaian penghitungan luas perkebunan sawit nasional yang tertuang dalam Kepmentan Nomor 833/KPTS/SR.020/M/12/2019. Melalui Kepmentan ini pemerintah menetapkan tutupan sawit Indonesia seluas 16,38 juta hektare.
Inisiatif-inisiatif juga lahir pada level daerah. Provinsi Papua Barat, misalnya, bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan evaluasi terhadap izin 30 perusahaan perkebunan sawit dengan landasan Inpres Moratorium Sawit. Hasilnya, hingga Agustus 2021, pemerintah kabupaten telah mencabut 18 izin perusahaan sawit di provinsi tersebut, dengan total konsesi seluas 311.546,79 hektare.
Kebijakan tersebut kontras dengan Kalimantan Barat yang belum banyak memberikan capaian berarti. Walaupun penerbitan izin baru nihil, minimnya petunjuk teknis dan peta jalan implementasi menjadi salah satu faktor tidak optimalnya moratorium sawit di tingkat kabupaten, terutama dalam hal evaluasi perizinan.
Namun, tidak berarti pemerintah kabupaten berpangku tangan. Kabupaten Sanggau, misalnya, menjadi yang terdepan dalam merespons Inpres Moratorium sawit. Melalui Surat Edaran Bupati No.065/3442/HK-B tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2018, pemerintah kabupaten Sanggau melakukan redistribusi tanah bersama Kementerian ATR/BPN. Pada 2018, sebanyak 12.000 bidang tanah eks HGU. Pada tahun yang sama, daerah tersebut juga menerima dua SK penetapan hutan adat dari Presiden sebagai perhutanan sosial.
Berakhirnya moratorium sawit
Moratorium sawit akan segera berakhir pada 19 september 2021. Selama tiga tahun implementasinya masih menyisakan banyak pekerjaan rumah terkait tata kelola perkebunan sawit dan praktik perkebunan berkelanjutan yang mensejahterakan masyarakat. Mulai dari kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan inisiasi para pihak hingga yang belum dilaksanakan dan menghasilkan capaian berarti.
Pekerjaan lainnya adalah sawit di dalam kawasan hutan. Saat ini pemerintah baru mengidentifikasi luas kebun sawit dalam kawasan hutan seluas 3,4 juta hektare. Namun belum ada capaian signifikan dalam pengembalian fungsinya, serta pemberian sanksi bagi perusahaan yang melakukan pelanggaran.
Selain itu, evaluasi perizinan juga harus terus dilakukan. Dari sekitar 27,4 juta hektar izin untuk perkebunan sawit yang telah diterbitkan, realisasi tanam baru mencapai 11,9 juta hektare atau kurang dari 50 persen. Data ini mengindikasikan, setidaknya ada 15,5 juta hektare lahan dalam izin perkebunan yang belum atau tidak mampu dimanfaatkan oleh pemegang izin. Lahan ini merupakan area potensial untuk ditetapkan kembali sebagai tanah negara, penyelesaian konflik tenurial atas hak kelola masyarakat dan pemenuhan kewajiban 20% bagi pengembangan perkebunan masyarakat.
Satu data dan keterbukaan informasi
Kebijakan satu peta juga masih ‘jauh panggang dari api’. Hal ini terlihat dari belum adanya informasi terkait tumpang tindih lahan yang diselesaikan selama implementasi moratorium sawit. Permasalahan tumpang tindih lahan perkebunan dengan izin usaha lain dan wilayah kelola masyarakat juga masih menjadi kisah klasik di berbagai daerah di Indonesia.
Tidak tersedianya data mengenai izin perkebunan yang dapat diakses oleh publik menjadi salah satu indikator keterbukaan informasi perizinan sawit yang masih ‘jalan di tempat’. Data peta dan izin perkebunan sawit yang tertutup juga melemahkan pengawasan oleh masyarakat terhadap aktivitas perkebunan di daerahnya. Kajian Madani Berkelanjutan tahun 2020 menyebutkan setidaknya ada 8,4 juta hektare izin perkebunan sawit yang belum terdata. Karena itu pemerintah perlu mengkaji dan kembali melakukan verifikasi kepastian status perizinan perusahaan untuk menghindari terjadinya konflik pengelolaan lahan dengan masyarakat dan mengoptimalkan pendapatan negara.
Sawit rakyat swadaya
Selain mengevaluasi dan menata kembali izin-izin perkebunan sawit skala besar, moratorium juga diharapkan berkontribusi bagi perbaikan sektor sawit swadaya yang luasnya mencapai 41% dari total luas sawit Indonesia. Meskipun berkontribusi pada angka ekspor CPO nasional, pengelolaannya masih bermasalah.
Contoh permasalahan itu adalah ketiadaan data spasial dan data pengelolaan sawit rakyat swadaya. Hal ini memiliki memiliki berbagai konsekuensi, mulai dari tidak tersedianya data keberadaan dan ekspansi sawit rakyat swadaya; kurangnya sosialisasi praktik pengelolaan kebun berkelanjutan; kebijakan yang belum mengakomodir pengembangan sawit swadaya; hingga minimnya dukungan finansial bagi petani. Hal ini sangat berdampak pada kesiapan petani memenuhi sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang ditargetkan pemerintah berlaku pada 2025.
Kerja-kerja mendukung moratorium sawit
Berbagai inisiatif diprakarsai para pihak seperti masyarakat sipil dan akademisi dalam mendukung pembenahan tata kelola sawit, khususnya sawit rakyat swadaya. Upaya itu bertujuan antara lain mendorong percepatan registrasi sawit rakyat swadaya melalui pemetaan dan pendataan, merumuskan NSPK pemetaan dan pendataan sawit swadaya, melakukan penguatan petani swadaya dalam praktik pengelolaan berkelanjutan dan merumuskan peta jalan penyelesaian sawit dalam kawasan hutan.
Moratorium sawit merupakan kebijakan penting yang berdampak positif bagi upaya perbaikan tata kelola perkebunan sawit nasional. Apalagi saat ini pasar global mengharuskan sawit dan produk turunannya berasal dari praktik perkebunan yang lestari. Jejak buruk pengelolaan sawit Indonesia selama ini bisa menjadi hambatan utama keberterimaan komunitas internasional. Maka, evaluasi perizinan, penyelesaian konflik tenurial, serta optimalisasi hasil berbasis praktik berkelanjutan wajib dilakukan.
Implementasi moratorium sawit yang belum berjalan sepenuhnya mengisyaratkan perlunya penguatan di berbagai aspek untuk mencapai target yang optimal. Diperlukan penguatan aspek hukum, target yang terukur dan petunjuk turunan implementasi hingga level daerah. Sehingga pemerintah diharapkan dapat menghimpun masukan dari para pihak terhadap evaluasi implementasi moratorium sawit dan melakukan penguatan untuk tata kelola perkebunan sawit yang berkelanjutan.
Data tutupan lahan yang keluarkan KLHK tahun 2019 menunjukan sekitar 1,43 juta hektare tutupan hutan berada di pelepasan kawasan hutan yang merupakan objek evaluasi perizinan dalam kebijakan moratorium sawit. Implementasi moratorium sawit memberikan harapan untuk dapat menyelamatkan tutupan hutan tersisa yang berada dalam izin sawit dan dikembalikan menjadi kawasan hutan melalui review izin. Hal ini sejalan dengan komitmen perubahan iklim Indonesia dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030. (ERA)
Reference :
Bakhtiar, Irfan, Diah Suradireja, Hery Santoso, and Wiko Saputra. 2019. 53 Kehati Hutan Kita Bersawit.
Ini waktunya mengeluarkan larangan deforestasi kelapa sawit, bukan hanya moratorium
Monitoring Report: One Year Palm Oil Moratorium
Perpanjangan Inpres Moratorium Sawit Peluang Menyejahterakan Petani dan Daerah