Oleh: Muhardi Juliansyah
Pada September 2024, krisis iklim telah mencapai titik kritis yang tak lagi bisa diabaikan. Data ilmiah menunjukkan peningkatan drastis dalam frekuensi dan intensitas bencana alam, sementara reaksi global masih tertatih-tatih menghadapi skala permasalahan yang sesungguhnya.
Setali tiga uang dengan suhu udara musim panas tahun Ini yang memecahkan rekor. Musim panas 2024 telah mencapai rekor terpanas di bumi, dengan suhu agustus tahun ini sama dengan tahun 2023, mencapai 16,82 derajat Celsius (62,27 derajat Fahrenheit). Juli 2024 tidak mencatat rekor, tetapi Juni 2024 jauh lebih panas daripada Juni 2023, membuat musim panas ini secara keseluruhan adalah yang terpanas. Ini menunjukkan bagaimana krisis iklim semakin mencengkeram kita.
Menurut laporan terbaru dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), suhu global telah meningkat lebih dari 1,2°C dibandingkan masa pra-industri, mendekati batas 1,5°C yang disepakati dalam Perjanjian Paris. Pada tahun ini, Eropa dan Amerika Utara mengalami gelombang panas yang memecahkan rekor, dengan suhu mencapai 48°C di beberapa daerah seperti Italia dan California. Hal ini tak hanya memperburuk kualitas hidup, tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi besar. Pertanian mengalami penurunan hasil panen hingga 30% di kawasan-kawasan terdampak kekeringan ekstrem.
Tak hanya itu, kebakaran hutan yang melanda wilayah Kanada dan Yunani sepanjang musim panas 2024 menambah daftar panjang bencana iklim yang menghancurkan ekosistem dan memaksa ribuan orang mengungsi. Data dari National Interagency Fire Center (NIFC) menyebutkan bahwa area yang terbakar di Amerika Utara tahun ini meningkat 45% dibanding rata-rata 10 tahun terakhir, dengan emisi karbon dari kebakaran ini berkontribusi signifikan terhadap peningkatan CO2 di atmosfer.
Sementara itu, wilayah pesisir di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, terus bergulat dengan banjir akibat naiknya permukaan laut. Studi dari Climate Central memperkirakan bahwa permukaan laut global naik hingga 20 cm sejak 2000, dan wilayah Jakarta menghadapi risiko tenggelam pada tahun 2050 jika tren ini berlanjut tanpa tindakan mitigasi yang signifikan. Banjir yang melanda kawasan Jakarta pada Agustus 2024 membenarkan prediksi ini, menimbulkan kerugian hingga triliunan rupiah dan memaksa puluhan ribu penduduk mengungsi.
Meski demikian, upaya global untuk mengatasi krisis ini masih jauh dari kata cukup. Menurut data dari International Energy Agency (IEA), emisi gas rumah kaca global justru meningkat sebesar 0,9% pada paruh pertama tahun 2024, dipicu oleh ketergantungan yang berkelanjutan pada bahan bakar fosil. Negara-negara industri utama, terutama China dan Amerika Serikat, masih menjadi penghasil emisi terbesar, meskipun ada janji untuk menurunkan jejak karbon mereka.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan bahwa peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, akibat pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan praktik industri yang tidak berkelanjutan, telah mendorong perubahan iklim pada kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tahun 2023 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang pengamatan instrumental, dengan anomali suhu rata-rata global mencapai 1,40 derajat Celcius di atas zaman pra industri.
Realitas krisis iklim ini bukan lagi prediksi masa depan; ia hadir di depan mata. Dampaknya tak hanya terbatas pada lingkungan, tetapi juga menyentuh aspek ekonomi, kesehatan, dan ketahanan sosial masyarakat global. Tanpa tindakan yang tegas, waktu kita untuk menghindari dampak paling buruk dari krisis ini kian menipis.
Saatnya semua pihak, dari individu hingga pemerintah dan perusahaan, menyadari bahwa masa depan yang lebih baik membutuhkan perubahan sekarang. Kita tak lagi bisa menunggu – bumi sudah berbicara, dan pesan yang disampaikannya sangat jelas: bertindak atau menghadapi kehancuran.