Secara historis produk agro komoditas di kawasan hutan, termasuk sawit, cenderung tidak terselesaikan bahkan ada preseden pembiaran sehingga masyarakat mengalami marginalisasi dan bahkan ada yang kemudian mengalami kriminalisasi. Beberapa peraturan yang ada pun tampaknya belum cukup efektif atau bahkan tidak memberikan jawaban atau penyelesaian. Itulah yang diingatkan kembali oleh Direktur Tropenbos Indonesia sebagai pengantar dalam webinar bertajuk “Menyelesaikan sawit di kawasan hutan” yang berlangsung pada 28 Agustus 2021.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengatakan, terdapat 16,8 juta hektar luas lahan sawit di Indonesia. Dari jumlah tersebut seluas 10,4 juta hektar digunakan oleh perusahaan, sedangkan sisanya untuk perkebunan rakyat. Hasil audit industri kelapa sawit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan adanya 3,3 juta hektar perkebunan sawit yang berada di kawasan hutan.
Luas perkebunan sawit ilegal yang mencapai 3,4 juta hektare, terakumulasi sejak tahun 1999. Perkebunan kelapa sawit yang berada di hutan konservasi seluas 115.694 hektar, hutan lindung 174.910 hektare, hutan produksi terbatas 454.849 hektare, hutan produksi biasa 1.484.075 hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 hektare. Dari 3,1 juta hektare, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 576.983 hektare sedang dalam proses permohonan pelepasan kawasan hutan. Sisanya, sekitar 1,2-1,7 juta hektare, tak memohon izin pelepasan kawasan hutan. Luas lahan ilegal yang sangat besar tersebut pasti sudah berlangsung sangat lama, dan terkesan ada pembiaran dari Pemerintah.
Pemerintah coba menyelesaikan sengketa kebun sawit di kawasan hutan ini melalui Peraturan Pemerintah Nomor 60/2012 yang diperbarui PP 104/2015 tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, namun tidak berhasil. Ada juga gagasan menggolongkan sawit sebagai tanaman kehutanan. Juga gagal. Melalui UU Cipta Kerja dan PP 24/2021 tentang tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda administratif di bidang kehutanan, pemerintah coba mengurai kebun sawit ilegal dengan prinsip keadilan. PP itu mensyaratkan pemutihan sawit di kawasan hutan adalah inventarisasi: sesuai tata ruang dan tidak tumpang tindih.
Sawit yang tidak sesuai tata ruang dipilih dalam kelompok perkebunan yang punya izin tak ada izin. Sawit yang tak memiliki izin akan terkena sanksi administratif berupa denda. Kebijakan denda administratif dalam kasus penguasaan hutan ilegal diatur dalam pasal 110A dan pasal 110B UU Cipta Kerja. Dengan pasal itu, pidana kejahatan hutan dikesampingkan (ultimum remedium) dan diganti dengan membayar denda yang akan menjadi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Sejak 2021, Menteri LHK Siti Nurbaya menerbitkan 12 pucuk surat keputusan berisi daftar dan informasi tentang penguasaan hutan tanpa izin. SK terbaru pada 5 April 2023 lalu berisi 30 subjek hukum tambahan yang akan mendapat program pengampunan keterlanjuran penggunaan kawasan hutan tanpa izin.
Kebijakan pemerintah ‘memutihkan’ kebun sawit ilegal di dalam kawasan hutan merupakan preseden buruk yang membuka potensi pelanggaran lebih besar di masa mendatang. Juga mengesampingkan upaya pemulihan lingkungan yang rusak. Juni lalu, Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengumumkan rencana pemutihan kebun. Pemutihan kebun sawit ini dijalankan berdasarkan ketentuan Pasal 110 A dan 110 B Undang-undang Cipta Kerja. Berkat kedua pasal itulah, kebun yang terlanjur berada di kawasan hutan dapat dilegalkan.
Dua ‘pasal keterlanjuran’ itu menyasar dua kategori berbeda. Pertama, setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki perizinan berusaha di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya Undang-undang dan belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 2 November 2023.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam keterangannya usai mengikuti rapat bersama Presiden Joko Widodo terkait kelapa sawit dengan sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Maju pada Selasa (26/9) di Istana Merdeka Jakarta mengatakan bahwa pemerintah telah menetapkan sejumlah alternatif penyelesaian hukum bagi perusahaan yang melanggar ketentuan pemanfaatan lahan-lahan sawit di tanah air. Mahfud juga menjelaskan bahwa perusahaan yang tidak kooperatif akan dipidanakan. Bahkan, pidana tersebut tidak hanya menghitung kerugian negara, tetapi juga kerugian perekonomian negara. Mahfud menyebut bahwa pemerintah sudah melakukan identifikasi terhadap sejumlah perusahaan yang harus menyelesaikan masalah terkait pemanfaatan lahan sawit. Pemerintah turut melibatkan Kejaksaan Agung untuk melihat aspek pidana, dan melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung jumlah kerugian negara.
Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono, menegaskan bahwa tidak ada pemutihan ataupun pengampunan bagi kepemilikan sawit dalam kawasan hutan. Kebijakan ini hanya berlaku bagi yang sudah beraktifitas dalam kawasan sebelum UUCK. Jika masih melakukan kegiatan baru dalam kawasan hutan setelah UUCK disahkan 2 November 2020, maka langsung dikenakan penegakan hukum dengan mengedepankan sanksi pidana, tidak berlaku lagi sanksi administratif.
Untuk masyarakat kecil atau kelompok tani yang anggotanya hanya menguasai lahan di bawah 5 hektar dan bertempat tinggal lima tahun berturut-turut di dalam atau sekitar kawasan hutan, maka pada mereka tidak dikenakan sanksi administratif dan diberikan solusi dalam bentuk akses legal melalui penataan kawasan hutan, bisa dalam bentuk perhutanan sosial dan TORA. Perhutanan sosial juga digunakan untuk penyelesaian sawit dalam kawasan HTI. Setelah melalui verifikasi teknis, akan memperoleh akses legal perhutanan sosial dengan skema kemitraan kehutanan dengan pemegang izin HTI.
Bambang mengajak para pihak, khususnya swasta, termasuk NGO selaku perwakilan publik, memandang UUCK dengan arah pemahaman yang sama. Kepastian hukum menjadi bagian penting dari amanah UU. Maka proses ke depan melalui UUCK adalah menyiapkan langkah-langkah memberi kepastian hukum. Meliputi kepastian kawasan, kepastian hukum, kepastian usaha, kepastian keberlangsungan usaha, dan kepastian keberlanjutan lingkungan. Bukan hanya represif, yang paling penting preventif. Pencegahan lebih penting agar tidak terjadi lagi kerusakan-kerusakan di kawasan hutan.
Sumber :
https://www.forestdigest.com/detail/2328/sawit-di-kawasan-hutan