Oleh: Muhammad Hadani – Peneliti SIAR
Perubahan iklim menjadi salah satu permasalahan utama yang dihadapi manusia dan alam dalam beberapa tahun terakhir. Sebuah survei persepsi dari World Economic Forum Global Risk Report (2022) menyebutkan bahwa perubahan iklim dalam 10 tahun ke depan dianggap sebagai risiko yang paling memberi ancaman jangka panjang. Tanpa adanya upaya mitigasi bersama dalam melakukan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terhadap aktivitas manusia, tujuan Paris Agreement untuk membatasi pemanasan global dari 1,5-2 Celsius akan berada di luar jangkauan. Pemerintah dan industri perlu menanggapi serius darurat iklim dengan meningkatkan ambisi mereka untuk mencapai net-zero emissions pada pertengahan abad ini.
Merujuk pada laporan profil risiko perubahan iklim Indonesia dari World Bank (2021), Indonesia berada pada peringkat 97 dari 181 negara yang menghadapi risiko dampak perubahan iklim. Peringkat tersebut digambarkan dari indeks ND-GAIN (Notre Dame Global Adaptation Initiative) yang menghitung kerentanan negara dalam menghadapi perubahan iklim dengan mempertimbangkan kombinasi faktor politik, geografi, dan sosial. Dikarenakan ada faktor sosial yang turut mempengaruhi kerentanan suatu negara selain kenaikan suhu, studi World Bank menempatkan Indonesia sebagai negara yang cukup rentan, meski diperkirakan peningkatan suhu Indonesia akan lebih rendah dari rata-rata global. Oleh karena itu, Indonesia secara berkelanjutan perlu melakukan berbagai langkah mitigasi dalam menangani risiko tersebut, termasuk kontribusinya dalam menekan emisi GRK (Indonesia Carbon Trading Handbook, Kata Data).
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, langkah mitigasi dalam mengurangi emisi GRK melalui energi terbarukan dan teknologi akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Pembangunan ekonomi juga menjadi salah satu pertimbangan negara berkembang untuk tetap menjalankan aktivitas ekonomi yang memiliki eksternalitas pada lingkungan, khususnya industri padat energi penghasil karbon. Dengan keberadaan regulasi pemerintah dan proyek percontohan, perdagangan karbon menjadi alat ekonomi hijau yang dipertimbangkan di masa depan menuju net-zero emissions. Dari segi regulasi, pemerintah perlu menyiapkan proyek transisi energi dalam jangka panjang. Sementara, industri juga perlu mengelola produksi karbon mereka sehingga dapat mengurangi risiko keuangan.
Sistem perdagangan karbon (emission trading system/ETS) menjadi salah satu mekanisme yang ditentukan berdasarkan batasan emisi dan harga karbon untuk memenuhi batas emisi tersebut. ETS disusun dengan elemen kunci tertentu, seperti sektor dan cakupan GRK; target dan batasan; alokasi kuota; pemantauan, pelaporan, dan verifikasi; kepatuhan dan penegakan serta peraturan yang dilengkapi dengan infrastruktur kelembagaan. ETS Uni Eropa menjadi sistem perdagangan emisi pertama di dunia dan dinilai berhasil diterapkan, dimana sebelum 2021 pasar karbon Uni Eropa berhasil menyumbang lebih dari 75% perdagangan karbon internasional. Di tahun 2019, ETS Uni Eropa mengurangi hingga 24% di bawah tingkat emisi tahun 1990.
Perdagangan karbon kedepannya sangat bermanfaat bagi Indonesia yang memiliki salah satu hutan tropis terluas di dunia. Berdasarkan data luasnya hutan, dengan skenario harga jual kredit karbon senilai US$ 5 per ton, potensi pendapatan dapat mencapai Rp 8.000 triliun. Sejauh ini, Indonesia belum memiliki pasar karbon domestik yang terintegrasi. Skema perdagangan karbon yang sudah beroperasi mengikuti mekanisme pasar sukarela. Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Mencapai Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional membawa kabar baik bagi perjalanan perkembangan perdagangan karbon di Indonesia. Peraturan yang menggunakan istilah Nilai Ekonomi Karbon tersebut di dalamnya secara lebih detail membahas mengenai sistem perdagangan karbon yang akan dilaksanakan di Indonesia.
Menurut Fifth Assessment Report 2014 dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), lebih dari 95% kemungkinan aktivitas manusia menyebabkan peningkatan suhu bumi. Perubahan iklim memiliki dampak yang destruktif terhadap berbagai sektor, salah satunya mengancam stabilitas ekonomi. Swiss Re Institute pun memprediksi bahwa perubahan iklim dapat menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) ekonomi dunia sebesar 11-18% atau sekitar US$ 23 triliun pada 2050 jika temperatur global meningkat 3,2 C. Pasal 17 Kyoto Protocol dan Pasal 6 Paris Agreement menjelaskan salah satu pendekatan penting dalam melakukan langkah mitigasi iklim adalah mekanisme berbasis pasar, yaitu perdagangan emisi.
Pasar karbon mengacu pada pasar dimana setiap unit kredit karbon, mewakili pengurangan emisi, dipertukarkan dalam kerangka kerja yang ditentukan. Sementara perdagangan karbon merupakan mekanisme yang memberikan hak kepada pihak-pihak untuk melakukan jual beli karbon (tradable emission rights). Analisis Environmental Defense Fund (EDF) pada 2019 mengindikasikan bahwa perdagangan karbon global dapat mengurangi total biaya mitigasi untuk memenuhi tujuan Paris Agreement sekitar US$ 300 hingga US$ 400 miliar selama 2020-2035. Penetapan nilai ekonomi karbon disertai dengan kebijakan pelengkap sangat penting untuk memungkinkan dampak keberlanjutan secara jangka panjang. Berdasarkan laporan Carbon Pricing for Climate Action Report dari World Bank, manfaat tersebut v mencakup peningkatan kualitas udara dan air, ketahanan energi dan pangan, serta stabilitas ekonomi makro.
Peran perdagangan karbon di seluruh dunia sedang berkembang ditandai dengan harga kredit karbon yang meningkat signifikan, terutama pada ETS Uni Eropa yang mengalami kenaikan harga kredit karbon sebesar 80%. Sementara harga kredit karbon masing-masing di ETS New Zealand meningkat 70%, Western Climate Initiative (WCI) sebesar 38%, dan Regional Greenhouse Gas Initiative (RGGI) sebesar 15%. Compound Annual Growth Rate (CAGR) memprediksi nilai perdagangan karbon di masa depan. Salah satu diantaranya Coherent Market Insights, memprediksi bahwa pasar karbon global akan setara dengan US$ 2.407,8 miliar pada 2027, dibandingkan dengan US$ 215 miliar pada 2019, dengan Compound Annual Growth Rate (CAGR) sebesar 30,7% antara 2020 dan 2027.
Tantangan pasar dagang karbon sebagai salah satu komoditas yang diproyeksikan berkembang membutuhkan beberapa komponen untuk dapat menjaga keseimbangan pasar sehingga berjalan baik dan berkelanjutan tanpa menyampingkan sisi kelestarian alam. Mulai dari persiapan kebijakan pemerintah seperti desain peta jalan perdagangan karbon yang terorganisir, peningkatan kapasitas untuk menyiapkan sumber daya manusia yang kompeten dan profesional, hingga infrastruktur pendukung perlu dikembangkan sebagai basis terlaksananya perdagangan karbon di Indonesia misalnya.